Minggu, 02 September 2012

SKRIPSI ANALISA TINGKAT KEPUASAN PASIEN PADA PELAYANAN KEPERAWATAN PRIMA DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT X

BAB I
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang Masalah
Eraglobalisasi merupakan suatu era baru yang akan membawa berbagai perubahan dibidang kehidupan. Salah satunya yaitu perubahan dibidang kesehatan. Terbuktinya pasar bebas akan berakibat pada tingginya kompetisi dibidang kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Hal ini menuntut adanya peningkatan kualitas serta profesionalisme sumber daya manusia kesehatan termasuk juga didalamnya sumber daya manusia keperawatan (Anaswarni, Keliat, Sabri, 2002). Pada masa sekarang dan yang akan dating, perawat dituntut untuk berperan penting dalam memberikan pelayanan kesehatan diRumah sakit (Jane, 2001 dikutip dari Purnomo, 2004).
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga kelompok dan ataupun masyarakat (Lovely dan loobam 1973, dalam waluyo, 2008). Pelayanan keperawatan adalah salah satu ruang lingkup pelayanan yang merupakan inti dari kegiatan pelayanan dirumah sakit. Rumah sakit harus menaga mutu keperawatan agar mampu bersaing (DepKes, 1995).
Pelayanan keperawatan mempunyai posisi yang strategis dalam menentukan mutu pelayanan kesehatan dirumah sakit karena jumlah perawat adalah yang terbanyak dan yang paling banyak kontak dengan pasien. Perawat memberikan pelayanan selama 24 jam terus menerus pada pasien sehingga menjadikan satu-satunya profesi kesehatan dirumah sakit yang banyak memberikan persepsi terhadap pelayanan kesehatan pada diri pasien (Purnomo, 2004).
Menurut Soejadi (1996), pasien adalah individu terpenting dirumah sakit, sehingga konsumen sekaligus sasaran produk rumah sakit. Didalam suatu proses keputusan, konsumen yaitu pasien tidak akan berhenti hanya sampai proses penerimaan pelayanan. Pasien akan mengevaluasi pelayanan yang diterimanya tersebut. Hasil dari proses evaluasi itu akan menghasilkan perasaan puas atau tidak puas (Sumarwan, 2003). Kepuasan pasien akan tercapai apabila diperoleh hasil yang optimal bagi setiap ppasien dan pelayanan kesehatan memperhatikan kemampuan pasien atau keluarganya, adanya perhatian terhadap keluhan, kondisi lingkungan fisik dan tanggap atau memprioritaskan kebutuhan pasien (Kotler, 2003).
Kepuasan pasien adalah indikator pertama dari standar suatu rumah sakit dan merupakan suatu ukuran mutu pelayanan. Kepuasan pasien yang rendah akan berdampak terhadap jumlah kunjungan dirumah sakit, sedangkan sikap karyawan terhadap pasien juga akan berdampak terhadap kepuasan pasien dimana kebutuhan pasien dari waktu ke waktu akan meningkat, begitu pula tuntutannya akan mutu pelayanan yang diberikan (Heriandi, 2006).
Salah satu pelayanan yang ada dirumah sakit adalah pelayanan prima, dimana pelayanan prima adalah pelayanan yang professional, cepat, bersih, ramah, dan pelayanan yang menberikan kepuasan dan kesembuhan bagi pasien (Keliat, Budi, Anna (2008). Untuk menuju pelayanan prima dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, meliputi ruangan, alat kesehatan utama, alat diagnostic dan alat penunjang diagnostic serta alat kesehatan untuk suatu tindakan medik. Disamping itu juga tidak kalah pentingnya sumber daya manusia yang memenuhi syarat, baik kualitas maupun kuantitas. Petugas yang mempunyai pengetahuan yang tinggi, keterampilan yang andal dan tingkah laku yang baik (Cokroaminoto, 2006).
Semakin tingginya tuntutan masyarakat akan fasilitas kesehatan yang berkualitas dan terangkau, maka berbagai upaya telah ditempuh dan memenuhi harapan tersebut. Pelayanan prima pada dasarnya dituukan untuk memberikan kepuasan kepada pasien. Pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit harus berkualitas dan memenuhi lima dimensi mutu utama yaitu : tangibles, reliability, resvonsiveness, assurance, dan emphaty (Fahriadi, 2007).
Dari hasil penelitian Mardiah (2007) yang dilakukan dirumah sakit umum sigil untuk meneliti pelayanan yang berkualitas diperoleh hasil sebanyak 72,3% mempunyai peersepsi yang baik tentang reliability, sebanyak 79,8% mempunyai persepsi yang baik tentang responsiveness dan 62,8% memiliki persepsi yang baik terhadap tangibles.dalam hal ini kepuasan sebanyak 53,2% menyatakan cukup puas, sistribusi mutu pelayanan yang paling banyak adalah baik dengan nilai 21,3% sedangkan kepuasan pasien rawat inap yang paling banyak menyatakan cukup puas adalah 22,3% selebihnya menyatakan tidak puas. Hasil ini searah dengan kepuasan pasien.
Pada saat ini rumah sakit X enerapkan pelayanan keperawatann prima disetiap ruang rawat inap. Adapun rumah sakit ini memiliki fasilitas ruang rawat inap sebanyak 3 ruangan yaitu instalasi rawat inap terpadu A terdiri dari 7 ruangan, instalasi rawat inap terpadu B terdiri dari 6 ruangan, dan CVCU terdiri dari 2 ruangan, dengan kapasitas tempat tidur berumlah 600 buah. Data dari bagian rekam medis RS X (2009) menyebutkan pada periode Januari hingga desember 2008 jumlah pasien yang dirawat inap berjumlah 17720 orang. Dengan rata-rata hari rawat inap adalah 3-9 hari. Dengan demikian rata-rata jumlah pasien yang dirawat inap setiap bulannya adalah 1477 orang.
Pelayanan keperawatan prima di RS X diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan system pelayanannya agar tercapai kepuasan pasien. Bagian keperawatan RS X (2008) telah melakukan evaluasi mutu pelayanan keperawatan prima dengan hasil penampilan fisik baik (75,2%), penyampaian prima cukup (83,6%), penyampaian prima cukup (83,6%), kemampuan prima cukup (80%), dan disiplin cukup (84,5%).
Berdasarkan tinjauan fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana tingkat kepuasan pasien pada pelayanan keperawatan prima diruang rawat inap RS X.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan bagaimana tingkat kepuasan pasien pada pemberian pelayanan keperawatan prima diruang rawat inap RS X?

3. Tujuan Penelitian
3.1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi tingkat kepuasan pasien pada pemberian pelayanan keperawatan prima diruang rawat inap RS X.
3.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien pada pelaksanaan pelayanan keperawatan prima berdasarkan kemampuan perawat.
2. Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien pada pelaksanaan pelayanan keperawatan prima berdasarkan sikap perawat.
3. Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien pada pelaksanaan pelayanan keperawatan prima berdasarkan penampilan perawat.
4. Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien pada pelaksanaan pelayanan keperawatan prima berdasarkan perhatian yang diberikan perawat.
5. Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien pada pelaksanaan pelayanan keperawatan prima berdasarkan tindakan yang dilakukan perawat
6. Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien pada pelaksanaan pelayanan keperawatan prima berdasarkan tanggung jawab yang diberikan perawat.

4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini akan memberikan konstribusi terhadap berbagai aspek yaitu :
4.1. RS X
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dan informasi tambahan kepada perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dan sebagai evaluasi untuk meningkatkan pelayanan keperawatan di RS X.
4.2. Pendidikan
Dalam aspek pendidikan, penelitian ini bermamfaat dalam memberikan informasi tambahan dan data evaluasi yang berguna bagi pendidikan keperawatan.
4.3. Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar pada penelitian selanjutnya terutama yang menyangkut perkembangan pelayanan keperawatan prima.
read more...

SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DIABETES MELITUS TENTANG KOMPLIKASI DIABETES MELITUS DI RS X

BAB I
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) dapat diartikan sebagai suatu penyakit tidak menular yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi kadar gula darah yang disertai ketidaknormalan metabolisme karbohidrat, protein, lemak serta adanya komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular (Inzucchi, 2004). Peningkatan kadar gula darah ini dipengaruhi oleh kerja insulin secara absolut maupun relatif (Suryono, 2004).
Prevalensi diabetes melitus di dunia mengalami peningkatan yang cukup besar. Data statistik organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000 menunjukkan jumlah penderita diabetes di dunia sekitar 171 juta dan diprediksikan akan mencapai 366 juta jiwa tahun 2030. Di Asia tenggara terdapat 46 juta dan diperkirakan meningkat hingga 119 juta jiwa. Di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 diperkirakan menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 (WHO, 2008). Indonesia merupakan urutan keenam di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak setelah India, Cina, Uni Soviet, Jepang, Brazil (Rahmadilayani, 2008).
Diabetes adalah penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya dan menjadi penyebab angka kesakitan dan kematian. Diabetes menjadi penyakit yang cukup serius dan mendapat perhatian karena diabetes dapat menyebabkan komplikasi yang menyerang seluruh tubuh (Yumizone, 2008). Peningkatan jumlah penderita diabetes sebagian besar dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakat. Diabetes juga memberikan pengaruh beban ekonomi yang besar untuk pengobatannya (Tandra, 2007).
Diabetes Melitus menjadi penyebab kematian keempat terbesar di dunia. Setiap tahunnya ada 3,2 juta kematian yang diakibatkan langsung oleh diabetes (Tandra, 2008). Diabetes juga sering membunuh penderitanya dengan mengikutsertakan penyakit-penyakit lainnya. Diabetes dapat menyebabkan komplikasi akut dan kronik. Komplikasi akut merupakan penyebab kematian yang cukup tinggi (Nabil, 2009).
Pada periode tahun 1990-an angka kematian komplikasi akut yaitu ketoasidosis (24,9%) dan hipoglikemia (10%) (Santoso, 2004). Sedangkan komplikasi kronik dapat berupa komplikasi makrovaskular seperti penyakit jantung koroner, pembuluh darah otak dan mikrovaskular seperti retinopati, nefropati dan neuropati. Dari data statistik terbaru yang diperoleh diabetes merupakan penyebab utama kebutaan bagi orang dewasa. Setiap 90 menit ada satu orang di dunia yang buta akibat komplikasi diabetes. Diabetes juga menyebabkan amputasi paling sering di luar kecelakaan. Setiap 19 menit ada satu orang di dunia yang diamputasi kakinya. Penyakit jantung dan kerusakan pembuluh darah menjadi 2-4 kali lipat lebih besar akibat diabetes, setiap 19 menit ada satu orang di dunia yang terkena stroke akibat komplikasi diabetes, dan setiap 90 menit juga ada satu orang di dunia yang harus cuci darah akibat komplikasi diabetes (Nabil, 2009).
Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh umur, obesitas, kurangnya pengetahuan, kebiasaan hidup yang kurang sehat (Rahmadilayani, 2008). Sebenarnya 95 % kesembuhan diabetes tergantung pada pasien diabetes. Senjata yang paling ampuh adalah mengenali dan memahami diabetes. Pasien yang memiliki pengetahuan tentang diabetes dan komplikasinya akan berhasil melawan diabetes (Tandra, 2008).
Pengetahuan dapat diartikan sebagai hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoadmojo, 2003). Pengetahuan pasien diabetes melitus dapat diartikan sebagai hasil tahu dari pasien mengenai penyakitnya, memahami penyakitnya, dan memahami pencegahan, pengobatan maupun komplikasinya.
Peneliti telah melaksanakan survei awal di RS X dan mendapatkan data jumlah pasien diabetes melitus pada bulan September-Oktober sebanyak 648 orang dan beberapa telah mengalami komplikasi. Berdasarkan penjelasan di atas peneliti merasa tertarik untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien diabetes melitus tentang komplikasi akut dan kronik penyakit diabetes di RS X.

2. Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi tingkat pengetahuan pasien diabetes melitus tentang komplikasi akut dan kronik penyakit diabetes di RS X.

3. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana tingkat pengetahuan pasien diabetes melitus tentang komplikasi akut dan kronik penyakit diabetes melitus di RS X.

4. Manfaat Penelitian
1. Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber data dasar, sumber informasi dalam usaha peningkatan pelayanan, terutama untuk pemberian pendidikan kesehatan berupa pengetahuan tentang penyakit dan komplikasi diabetes.
2. Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan pengetahuan yang berharga bagi penelitian berikutnya. Terutama bagi penelitian yang menyangkut pengetahuan tentang komplikasi diabetes.
read more...

SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN KEPALA KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA YANG MENDERITA TBC DI KELURAHAN X

BAB I 
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, dan sebagian lagi dapat menyerang diluar paru-paru, seperti kelenjar getah bening (kelenjar), kulit, usus/saluran pencernaan.(Laban, 2008).
Kuman TBC telah menginfeksi sepertiga penduduk didunia, dan setiap tahunnya 8 juta orang menderita penyakit TBC, bahkan hampir 2 juta orang meninggal karena penyakit tersebut.(DepKes.RI, 2002).
Penyakit TBC pada tanggal 21 Oktober 2008 masih merupakan masalah utama masyarakat Indonesia. Jumlah penderita TBC di Indonesia mencapai 10% peringkat ke 3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina. TBC merupakan penyebab kematian tertinggi diantara penyakit menular lainnya. Penyakit TBC ini menyebabkan produktivitas orang yang mengidapnya menjadi menurun bahkan dapat menyebabkan kematian. Penurunan produktivitas penderita akan menyebabkan menurunnya aktivitas ekonomi sehingga pada akhirnya penyakit tuberculosis ikut menambah beban ekonomi. Menurut dokter Bondan, kepala dinas kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mengatakan berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005 sebesar 107 / 100.000 penduduk (246.000 kasus baru setiap tahun), dan prevalensi 597.000 kasus (untuk semua kasus) TBC adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat 3 dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia, yang menyebabkan sekitar 300 orang setiap hari atau lebih dari 100.000 orang setiap tahun meninggal karena TBC. Dalam soal penagananya, pada tahun 2007 khususnya di DIY pelaksanaan pemberantasan penyakit TBC berhasil menemukan dan menngobati 1.136 penderita TBC masih dibawah target nasional sekitar 70%. sedangkan angka kesembuhan baru mencapai 79,30% dari target nasional sebesar 85%, dan angka kesuksesan 84,23% yang berarti juga di bawah target nasional sebesar 85%. http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?td=4970 diperoleh tanggal 5 Desember 2008).
WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 orang penderita TBC dengan jumlah kematian sebanyak 140.000 orang, hal ini di ungkapkan WHO pada tahun 1999. Secara kasar diperkirakan dari setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 orang penderita baru TBC paru BTA positif. Penyakit TBC menjadi masalah sosial, karena sebagian besar penderitanya adalah kelompok usia kerja produktif, kelompok ekonomi lemah, dan tingkat pendidikan rendah. Selain itu masalah lainnya adalah pengobatan penyakit TBC yang memerlukan j angka waktu lama dan rutin yaitu 6-8 bulan. Dengan demikian, apabila penderita meminum obat secara tidak teratur/tidak selesai, justru akan mengakibatkan terjadinya kekebalan ganda kuman TBC terhadapm Obat Anti -Tuberkulosis (OAT), yang akhirnya untuk pengobatannya penderita harus mengeluarkan biaya yang tinggi/mahal serta dalam jangka waktu yang relatif lebih lama.(DepKes.RI, 2002).
TBC menyerang lebih dari 75% penduduk usia produktif, 20-30% pendapatan keluarga hilang per tahunnya akibat TBC. Selain itu, seorang penderita aktif TBC akan menularkan 10-15 orang disekitarnya per tahun, dan tanpa pengobatan yang efektif, 50-60% penderita TBC akan meninggal dunia.
Sejak tahun 1995, WHO merekomendasikan program pemberantasan penyakit TBC dengan srtrategi DOTS (Directly Observed Treatment Short course) yang menurut Bank Dunia merupakan strategi kesehatan yang paling Cost-effective yaitu memerlukan biaya pengobatan yang lebih murah, namun mampu menghasilkan angka penyembuhan yang lebih tinggi. Menurut WHO, pada tahun 1996, dari penderita TBC yang tidak diobati setelah 5 tahun, 50% meninggal, 25% kronik dan menular. (Laban, 2008).
TBC penyakit menular yang sudah sejak lama ada di negeri ini ternyata belum dipahami dengan benar oleh masyarakat. Hasil survei yang dilakukan Koalisi untuk Indonesia Sehat (KuIS) yang dilakukan pada Oktober sampai Desember 2005 di 90 desa pada 15 kabupaten/kota X, dengan jumlah responden 3.677 menemukan sekitar 19,7% responden yang memberi jawaban yang benar tentang penyakit TBC. Hasil survei tersebut antara lain menemukan ada 11% responden tidak tahu TBC adalah penyakit menular, 11% responden tidak tahu TBC bukan penyakit guna-guna, 26% responden tidak tahu batuk berdahak > 3 minggu adalah gejala TBC, 58% responden tidak tahu bahwa TBC bisa disembuhkan dengan sempurna, 58% tidak tahu penderita TBC memerlukan pemantau minum obat (PMO), 38% responden tidak tahu bahwa obat TBC bisa diperoleh gratis di puskesmas. Hal ini dituturkan oleh ketua dewan eksekutif KuIS, dokter Firman Lubis MPH, dalam hasil survei TBC di RT 7/RW 7 kelurahan X. Beliau juga menuturkan bahwa TBC erat kaitanya dengan kondisi lingkungan seperti kelembaban, kepadatan penduduk. Kondisi ini mempermudah penularan kuman TBC. Menjadikan lingkungan yang sehat tidak hanya mengatasi TBC, tetapi juga penyakit lain.
Di sisi lain, pemahaman masyarakat terhadap TBC sangat kurang, penanggulangan TBC masih lebih berfokus pada pengobatan. Tingginya kasus TBC di Indonesia, antara lain karena penanggulanganya belum dilakukan dengan benar (masih menekankan kuratif). Perhatian terhadap TBC dari masyarakat dan swasta pun masih rendah. Sangat jarang kegiatan yang terkait dengan TBC, misalnya kegiatan pengumpulan dana. Di tengah masyarakat ada anggapan bahwa penyakit TBC adalah penyakit yang tidak elite. Di wilayah X, jumlah penderita TBC pada tahun 2008, seluruhnya terdapat 14.416 orang. http://www.gizi.net/cgi.bin/berita/fullnews.cgi?newsid diperoleh tanggal 5 Desember 2008).
Di wilayah X sendiri, jumlah penderita TBC pada tahun 2000 berkisar 3700 orang dengan perkiraan suspect sebanyak 27889 orang dimana jumlah BTA positif sebanyak 701 orang dan angka konversinya sebesar 86.59%. Sedangkan pada tahun 2001, penderita TBC berkisar 4512 orang dengan BTA poositif 736 orang dan angka konversinya sebesar 91.40%. Angka konversi tersebut melebihi target yang ditetapkan secara nasional yaitu sebesar 80%. Sedangkan target nasional untuk angka kesembuhan adalah sebesar 85%, tetapi di wilayah X hanya dapat mencapai 79.88% pada tahun 2000. (Suku Dinas Kesehatan X, 2001).
Dalam penelitian Widagdo pada tahun 2003 di Puskesmas Kecamatan Y, ditemukan bahwa dari 71 orang, terdapat 50 penderita TBC yang bersikap positif dan patuh dalam pengobatan, dan 21 orang lainnya bersikap negatif dan pada umumnya tidak patuh dalam pengobatan.
Di wilayah Puskesmas kelurahan X jumlah penderita TBC yang di dapat dari data pasien yang berobat sepanjang tahun 2008-Februari 2009, adalah 72 orang yang terdiri dari : 16 orang merupakan pasien lama dari bulan Januari-Mei 2008. 56 orang merupakan pasien baru, dari 56 pasien, 20 orang di antaranya merupakan pasien yang berasal dari luar wilayah kelurahan X. Kemudian 6 orang sudah pindah tempat tinggal ke wilayah lain dan mulai tidak aktif berobat sejak bulan Desember. Jadi, pasien yang di ambil oleh peneliti adalah 30 orang, yang benar-benar bertempat tinggal di wilayah kelurahan X dan masih aktif berobat ke Puskesmas X dari bulan Desember 2008-Februari 2009. (Puskesmas X, 2009).
Peneliti tertarik mengambil penelitian ini karena penyakit TBC merupakan penyakit yang sering dialami di negara berkembang seperti di Indonesia. Sehingga di perlukan bagi kepala keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang terkena TBC untuk mengetahui tentang TBC. Karena berdasarkan pengalaman pribadi, peneliti pernah menemukan tetangga yang meninggal dunia karena penyakit TBC yang sudah kronik. Jadi peneliti berharap semoga penelitian ini dapat berguna bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang terkena TBC.

B. PERUMUSAN MASALAH
Pengetahuan tentang TBC merupakan salah satu langkah yang dibutuhkan dalam mengetahui pengertian tentang penyebab, pencegahan, dan cara merawat anggota keluarga yang terkena TBC. Cara merawat anggota keluarga yang tepat dapat dilaksanakan apabila adanya partisipasi kepala keluarga dan dukungan pemerintah sebagai penyedia dan pemberi informasi. (http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?td=4970 diperoleh tanggal 5 Desember 2008). Adanya kecenderungan fluktuasi penyakit TBC ini akan meningkat pertahun, karena di perkirakan 1 atau 2 orang yang menderita TBC dapat menularkan penyakit tersebut ke 10-15 orang di sekitarnya. Dan jika tanpa pengobatan yang efektif, 50-60% penderita TBC akan meninggal dunia. Menurut WHO, pada tahun 1996, dari penderita TBC yang tidak diobati setelah 5 tahun, 50% meninggal, 25% kronik dan menular. (Laban, 2008).
Di sisi lain, pemahaman masyarakat terhadap TBC sangat kurang, penanggulangan TBC masih lebih berfokus pada pengobatan. Tingginya kasus TBC di Indonesia, antara lain karena penanggulanganya belum dilakukan dengan benar (masih menekankan kuratif). Perhatian terhadap TBC dari masyarakat dan swasta pun masih rendah. Sangat jarang kegiatan yang terkait dengan TBC, misalnya kegiatan pengumpulan dana. Di tengah masyarakat ada anggapan bahwa penyakit TBC adalah penyakit yang tidak elite. Di wilayah X, jumlah penderita TBC pada tahun 2008, seluruhnya terdapat 14.416 orang. (http://www.gizi.net/cgi.bin/berita/fullnews.cgi?newsid diperoleh tanggal 5 Desember 2008).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti dapat merumuskan suatu masalah yaitu bagaimana tingkat pengetahuan kepala keluarga dalam merawat anggota keluarga yang menderita TBC di kelurahan X.

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan kepala keluarga dalam merawat anggota keluarga yang terkena TBC, di kelurahan X.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah kepala keluarga (KK) dapat :
a. Mengetahui definisi tentang TBC
b. Mengetahui etiologi / penyebab tentang TBC
c. Mengetahui patofisiologi terjadinya TBC
d. Mengetahui pengetahuan dan usaha pencegahan TBC
e. Mengetahui klasifikasi dan tipe penderita TBC
f. Mengetahui gejala penyakit TBC
g. Mengetahui pengobatan TBC
h. Mengetahui peran Pengawas Minum Obat (PMO)
i. Mengetahui pengobatan dan pencegahan TBC untuk anak
j. Mengetahui pengobatan TBC pada keadaan khusus
k. Mengetahui pemeriksaan-pemeriksaan apa saja yang perlu dilakukan.
l. Mengetahui komplikasi penyakit TBC.
m. Mengetahui cara merawat anggota keluarga dengan penyakit TBC.

D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat baik bagi institusi tempat melakukan penelitian maupun bagi peneliti sendiri.
1. Bagi FIKES Universitas X.
Secara akademik penelitian ini untuk menambah pengetahuan mahasiswa keperawatan untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat dalam merawat anggota keluarga yang terkena TBC.
2. Bagi Praktisi
Diharapkan petugas Puskesmas dapat memberikan penyuluhan tentang merawat anggota keluarga yang terkena TBC sesuai dengan tingkat pengetahuan masyarakat yang ada di wilayah kerjanya.
3. Bagi Masyarakat
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang merawat anggota keluarga yang menderita TBC, sehingga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melakukan pencegahan penularan TBC.


read more...

SKRIPSI PERAWATAN KELUARGA TERHADAP LANSIA DI DESA X

BAB 1 
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Lanjut usia (lansia) adalah kelompok penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih (WHO, 1965). Menjadi tua (lanjut usia) merupakan peristiwa yang sangat alamiah dan normal terjadi pada setiap manusia. Setiap manusia tentunya berharap dapat menjalani masa tuanya dengan bahagia. Ketika memasuki masa tua tersebut, sebagian lansia dapat menjalaninya dengan bahagia, namun tidak sedikit dari mereka yang mengalami hal sebaliknya, masa tua dijalani dengan rasa ketidakbahagiaan, sehingga menyebabkan rasa ketidaknyamanan (Dana, 2007). Ketidakbahagiaan tersebut bisa disebabkan karena kondisi lingkungan, kurangnya perawatan, perhatian ataupun kepedulian dari orang-orang di sekitar lansia, .terutama keluarga. Sebagian lansia tinggal bersama dengan keluarga sendiri dan ada juga yang tinggal di Panti Werdha atau tempat lainnya, tetapi menurut Tachman (1999), tempat yang paling baik bagi lansia adalah tempat tinggalnya sendiri dengan anggota keluarga lainnya. Perawatan yang dilakukan oleh anak sendiri diduga memberikan rasa aman dan nyaman karena mereka lebih toleran terhadap lansia dibandingkan kerabat atau orang lain, sehingga kebutuhan fisik, psikis, sosial, ekonomi dan spiritual lansia bisa terpenuhi dengan baik.
Jumlah lansia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Saat ini, di seluruh dunia jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan mencapai 500 juta, dengan usia rata-rata 60 tahun, dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1, 2 milyar (Nugroho, 2000). Berdasarkan data penduduk mutakhir, jumlah lansia di Indonesia sekarang sekitar 16 juta jiwa (Sabdono, 2007). Pada tahun 2025, jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 273 juta jiwa, dan hampir seperempat dari jumlah penduduk tersebut atau sekitar 62, 4 juta jiwa tergolong sekelompok penduduk lanjut usia. Bahkan, jika menggunakan model proyeksi penduduk PBB, jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2050 menjadi dua kali lipat atau sekitar 120 juta jiwa lebih (Sardjunani, 2007). Sedangkan di Provinsi X berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2007, jumlah penduduk yang berumur 60 tahun ke atas mencapai 693.494 jiwa, atau 5,4% dari jumlah penduduk di Provinsi X (12.834.371 jiwa). Dan jumlah penduduk lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y sebanyak 213 jiwa (Laporan Kepala Desa Z, 2009).
Peningkatan persentase penduduk lanjut usia membawa implikasi terhadap berbagai sektor pembangunan lainnya. Pergeseran struktur penduduk dari muda ke tua tersebut antara lain berdampak terhadap perubahan kebijakan pemerintah, tidak saja di sektor kependudukan tetapi juga di sektor kesehatan, sosial dan bahkan ke sektor ekonomi. Hal ini tentunya membawa implikasi pada kebijakan yang dibuat harus dapat mengakomodasi keberadaan lanjut usia dengan segala karakteristiknya baik dari aspek demografi, sosial dan ekonomi. Faktor-faktor seperti demografi, sosial dan ekonomi banyak melatarbelakangi lanjut usia melakukan aktivitas yang beragam, baik yang bernilai ekonomi maupun yang tidak bernilai ekonomi (Mundiharno, 1997).
Masalah kesehatan lanjut usia tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses kemunduran yang panjang. Ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dan bertahap, dan pada waktu kompensasi terhadap penurunan ini dapat dilakukan, dikenal sebagai "senescence", yaitu masa proses menjadi tua. Seseorang akan menjadi semakin tua pada awal atau akhir usia enam puluhan, tergantung pada laju kemunduran fisik dan mentalnya, dan juga tergantung pada masing-masing individu yang bersangkutan. Penyebab fisik dari kemunduran ini merupakan suatu perubahan pada sel-sel tubuh bukan karena penyakit khusus, tetapi karena proses menua. Akibatnya terjadi penurunan pada peranan-peranan sosial dan timbulnya gangguan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga dapat meningkatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan orang lain. Kemunduran juga bisa terjadi oleh karena faktor psikologis. Sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan dan kehidupan pada umumnya dapat menuju ke keadaan seseorang yang menjadi eksentrik, kurang perhatian dan terasing secara sosial sehingga penyesuaian dirinya menjadi buruk, akibatnya orang menurun secara fisik dan mental sehingga mengalami penurunan dalam melakukan aktivitasnya. Seseorang yang mengalami ketegangan dan stres hidup akan mempengaruhi laju kemunduran tersebut. Demikian juga, bahwa motivasi memainkan peranan penting dalam kemunduran. Dengan adanya gangguan tersebut, menyebabkan lanjut usia menjadi tidak mandiri dan membutuhkan orang lain untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari (Hurlock, 2002).
Dalam menghadapi kemunduran, mereka membutuhkan bantuan untuk mencapai rasa tentram, nyaman, kehangatan dan perlakuan yang layak dari lingkungannya. Memberikan perhatian pada lanjut usia dan mengupayakan agar mereka tidak terlalu tergantung pada orang lain, mampu membantu diri sendiri, itu semua adalah kewajiban keluarga dan lingkungan (Supartondo, 2003).
Berdasarkan data dari Kantor Kepala Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y terdapat 213 jiwa lanjut usia di Desa Zi Kecamatan X Kabupaten Y dan jumlah keluarga yang memiliki lanjut usia sebanyak 173 keluarga. Dari data yang didapat, tidak semua kemunduran yang dialami lanjut usia sama, tetapi tergantung dari cara perawatan keluarga terhadap lanjut usia itu sendiri.
Berdasarkan kondisi di atas, peneliti menjadi tertarik untuk meneliti bagaimana perawatan keluarga terhadap lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y dalam mencegah atau menanggulangi kemunduran yang dialami oleh lanjut usia.

2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, adapun pertanyaan dari penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran perawatan keluarga terhadap lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y?

3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi gambaran perawatan keluarga terhadap lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y.

4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini ditujukan pada Praktek Keperawatan, Pendidikan Keperawatan, Penelitian Keperawatan dan Keluarga Lansia.
- Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dalam memberikan intervensi keperawatan dengan mempertimbangkan berbagai aspek sebagai upaya meningkatkan kebutuhan perawatan keluarga terahadap lansia.
- Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi evidence base yang diintegrasikan dalam wahana pembelajaran keperawatan keluarga, khususnya perawatan gerontik tentang materi pembelajaran gambaran perawatan keluarga tehadap lansia, sehingga informasi ini dapat dikembangkan dalam praktek belajar lapangan.
- Penelitian Keperawatan
Hasil penelian ini dapat digunakan sebagai informasi lanjutan pada penelitian selanjutnya yang meneliti tentang perawatan keluarga terhadap lansia, baik lansia yang sehat maupun lansia dengan berbagai gangguan kesehatan.
- Keluarga Lansia
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi keluarga dalam merawat lansia untuk meningkatkan kualitas hidup lansia dan agar lansia dapat menjalani hari tua dengan rasa aman, nyaman dan menyenangkan.
read more...

SKRIPSI HUBUNGAN SIKAP DAN TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN KECEMASAN ANAK PRASEKOLAH DI RUANG PERAWATAN RS X

BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Sehat menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah keadaan baik pada seluruh badan serta bagian-bagiannya. Menurut UU no 36 tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. WHO mendefinisikan sehat sebagai suatu keadaan yang sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan.
Menurut Kisanti (2008), kesehatan anak penting sekali artinya bagi keluarga, ibaratnya kesehatan anak merupakan kebahagiaan bagi orangtua. Jika anak sakit hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Kesehatan anak menentukan kualitas anak dikemudian hari, karena keberhasilan anak dimasa yang akan datang akan tergantung dari bagaimana anak menjalani tahap awal kehidupannya yaitu usia bayi, toddler, prasekolah dan sekolah. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam pemenuhan kebutuhan anak untuk pertumbuhan dan perkembangan anak (Supartini, 2004).
Dalam proses perkembangan anak usia prasekoah ada ciri- ciri yang melekat pada anak-anak tersebut. Menurut Snowman (dalam Patmonodewo, 2003) mengemukakan ciri-ciri anak prasekolah (3-6 tahun) yang meliputi aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif anak. Pertama pada ciri fisik, anak prasekolah terlihat lebih aktif sehingga membutuhkan kontrol pada tubuhnya untuk istirahat yang cukup. Hal ini dikarenakan anak prasekolah seringkali tidak menyadari bahwa mereka harus beristirahat yang cukup. Kedua pada ciri sosial, pada tahap ini anak prasekolah lebih cepat bersosialisasi dengan teman-temannya. Ketiga pada ciri emosi, dimana pada tahap ini anak prasekolah cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka, sedangkan pada ciri perkembangan kognitif anak prasekolah umunya terampil dalam berbahasa.
Pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dicapai secara optimal. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak diantaranya pemberian nutrisi yang adekuat, memfasilitasi kegiatan bermain, dan melakukan upaya pemeliharaan kesehatan untuk pencegahan penyakit. Salah satu upaya pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit adalah dengan pemberian imunisasi. Dimana imunisasi merupakan upaya yang dilakukan dengan sengaja, memberikan kekebalan pada anak prasekolah sehingga terhindar dari penyakit. Masalah kesehatan yang sering dijumpai pada anak prasekolah diantaranya adalah infeksi (Supartini, 2004).
Saat anak prasekolah dirawat di rumah sakit, kondisi ini memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan rumah yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan serta hilangnya waktu bermain bersama teman-teman sepermainannya. Adapun reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia prasekolah selama dirawat di rumah sakit adalah dengan menolak makan, sering bertanya kepada orang tuanya tentang hal-hal yang tidak dipahaminya, menangis dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan.
Dampak dari perpisahan yang dialami anak prasekolah saat dirawat di rumah sakit akan menimbulkan rasa kecemasan pada anak tersebut. Kecemasan adalah suatu penyerta yang normal dalam merespon sesuatu yang baru dan belum pernah dialami. Perawatan anak di rumah sakit merupakan pengalaman yang penuh dengan kecemasan bagi anak maupun orang tua. Faktor yang mempengaruhi kecemasan anak yang dirawat di rumah sakit antara lain lingkungan rumah sakit, bangunan fisik, bau khas rumah sakit, obat-obatan, alat-alat medis, petugas kesehatan, warna seragam, dan sikap petugas kesehatan seperti dokter dan perawat (Moersintowati, dkk 2008). Menurut Supartini (2004), perawatan di rumah sakit seringkali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak merasa malu, bersalah, cemas dan takut. Anak juga sering merasa takut pada hal-hal yang tidak logis, seperti takut gelap, monster, dll. Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak usia prasekolah yaitu cemas, marah, sedih, takut dan rasa bersalah. Perasaan tersebut dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang dialaminya, dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan serta lingkungan rumah sakit (Wong, 2000). Penelitian Isle of Wight yang dilaporkan oleh Rutter dan kawan-kawan (dalam Nelson, 2000) menemukan prevalensi gangguan kecemasan adalah 6,8%. Sekitar sepertiga anak ini adalah cemas berlebihan, dan sepertiga lainnya menderita ketakutan spesifik atau fobia yang merupakan cacat. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Furi Seftiani yang berjudul Hubungan Antara Perilaku Caring Dengan Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Klien Anak di Ruang Perawatan Anak RS Sentra Medika Cimanggis (2008), didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sikap caring perawat dengan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada klien anak di ruang perawatan anak.
Upaya untuk mengatasi kecemasan pada anak antara lain yang pertama melibatkan orang tua anak, agar orang tua berperan aktif dalam perawatan anak dengan cara membolehkan mereka untuk tinggal bersama anak selama 24 jam. Jika tidak mungkin, beri kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat dengan maksud untuk mempertahankan kontak antara mereka. Yang kedua melakukan modifikasi lingkungan rumah sakit, agar anak tetap merasa nyaman dan tidak asing dengan lingkungan baru. Upaya yang ketiga adalah peran dari petugas kesehatan rumah sakit (dokter, perawat), dimana diharapkan petugas kesehatan khususnya perawat harus menghargai sikap anak karena selain orang tua perawat adalah orang yang paling dekat dengan anak selama perawatan di rumah sakit. Sekalipun anak menolak orang asing (perawat), namun perawat harus tetap memberikan dukungan dengan meluangkan waktu secara fisik dekat dengan anak menggunakan suara bernada tenang, pilihan kata yang tepat, kontak mata dan sentuhan secara empati (Wong, 2008).
Komunikasi merupakan upaya individu dalam menjaga dan mempertahankan individu untuk tetap berinteraksi dengan orang lain. Komunikasi adalah kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih, dalam bentuk pembagian ide, pikiran dengan menggunakan lambang, memiliki tujuan tejadi perubahan pada orang lain (Tamsuri, 2008). Effendy (2002) dalam Suryani (2004) menyatakan lima komponen dalam komunikasi yaitu komunikator, komunikan, pesan, media, dan efek. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Indrawati, 2003). Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang mempunyai efek penyembuhan. Karena komunikasi terapeutik merupakan salah satu cara untuk memberikan informasi yang akurat dan membina hubungan saling percaya terhadap klien, sehingga klien akan merasa puas dengan pelayanan yang diterimanya. Apabila perawat dalam berinteraksi dengan klien tidak memperhatikan sikap dan teknik dalam komunikasi terapeutik dengan benar dan tidak berusaha untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi terapeutik, maka hubungan yang baik antara perawat dengan klienpun akan sulit terbina (Anggraini, 2009). Cara berkomunikasi pada anak berbeda dengan komunikasi terapeutik pada orang dewasa. Komunikasi terapeutik pada anak hendaknya selalu memperhatikan nada suara, jarak interaksi dengan anak, sentuhan yang diberikan kepada anak harus atas persetujuan anak (Mundakir, 2006).
Dalam komunikasi terapeutik ada beberapa sikap dan teknik komunikasi yang harus dipahami oleh perawat. Sikap komunikasi terapeutik pada anak prasekolah antara lain memberitahu apa yang terjadi pada dirinya, memberi kesempatan pada anak untuk menyentuh alat pemeriksa yang akan digunakan, bicara lambat, hindari sikap mendesak untuk dijawab, hindari konfrontasi langsung, salaman pada anak (untuk mengurangi kecemasan). Sedangkan teknik komunikasi terapeutik dengan anak yang harus dipahami oleh perawat antara lain teknik non verbal teknik orang ketiga, bercerita, dan teknik verbal menulis, menggambar, bermain (Tamsuri, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh A.Aziz A.Hidayat (2003) yang berjudul Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Perawat Dalam Komunikasi Terapeutik Pada Anak Usia Prasekolah di RSUD Dr.Soetomo Surabaya (2003), didapatkan hasil penegetahuan perawat dalam komunikasi terapeutik pada anak usia prasekolah di RSUD Dr.Soetomo adalah 56,3% berpengetahuan baik dan 43,8% berpengetahuan kurang. Sikap perawat dalam komunikasi terapeutik pada anak usia prasekolah di RSUD Dr. Soetomo adalah 65,6% bersikap positif dan 34,4% bersikap negatif.
Berdasarkan survey awal peneliti yang dilaksanakan pada tanggal 20 Desember 2009, peneliti mendapatkan informasi bahwa sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian di rumah sakit ini mengenai komunikasi terapeutik pada anak di rumah sakit X . Di rumah sakit X terdapat dua ruang perawatan anak (satu ruangan kelas satu dan dua, satu ruangan kelas tiga) dengan kapasitas 30 tempat tidur, data kunjungan ke rumah sakit X khususnya pasien anak setiap bulannya cukup banyak, tiga bulan terakhir sekitar 74 pasien anak yang dirawat di rumah sakit X. Hasil studi pendahuluan terhadap anggota keluarga dari anak yang dirawat mengungkapkan bahwa waktu kunjungan terbatas dan jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu juga terbatas, kecemasan anak bertambah selama dirawat karena anak harus berpisah dengan orang-orang terdekatnya. Selain itu dari hasil wawancara dengan orang tua anak yang dirawat dua hari di ruang rawat anak rumah sakit X mengungkapkan dari sejak pertama kali masuk dan dirawat anak sering menangis, terlihat gelisah, juga takut jika didekati perawat dan jika akan diberikan suatu tindakan keperawatan. Sedangkan 3 dari 5 orang tua anak yang anaknya telah dirawat selama 5 hari mengungkapkan awal-awal dirawat anaknya juga sering menangis jika didekati perawat tetapi sekarang sudah tidak takut lagi kecuali jika akan diberikan tindakan tertentu (seperti dipasang infus). Menurut beberapa orang tua anak yang dirawat, komunikasi yang diterapkan perawat baik kepada anak maupun kepada orang tua sudah cukup baik, walaupun ada beberapa perawat yang dirasakan belum menerapkan cara-cara atau teknik komunikasi ke anak. Hasil wawancara kepada pihak managemen rumah sakit X yang dilakukan peneliti pada tanggal 16 Februari 2010 didapatkan data dari hasil angket yang diberikan pihak rumah sakit kepada pasien tingkat kepuasan pasien yang dirawat selama 3 bulan terakhir cukup bagus (85% pasien puas dengan pelayanan yang rumah sakit berikan). Selain itu penerapan komunikasi terapeutik di rumah sakit X sudah diterapkan, dan di rumah sakit X selalu dilaksanakan pelatihan tentang penerapan komunikasi terapeutik kepada semua karyawan termasuk kepada perawat.
Dari permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan sikap dan teknik komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan anak prasekolah yang diruang perawatan rumah sakit X .

B. Rumusan Masalah
Dari uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan adalah apakah ada hubungan sikap dan teknik komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan anak prasekolah di ruang perawatan anak rumah sakit X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan sikap dan teknik komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pada anak prasekolah di ruang perawatan rumah sakit X
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh gambaran tentang karakteristik (jenis kelamin dan lama hari rawat) pasien anak prasekolah di ruang perawatan anak rumah sakit X
b. Memperoleh gambaran tentang kecemasan pasien prasekolah anak di ruang perawatan anak rumah sakit X
c. Menganalisis hubungan antara sikap komunikasi terapeutik perawat dengan kecemasan pada anak prasekolah di ruang perawatan anak rumah sakit X
d. Menganalisis hubungan teknik komunikasi terapeutik perawat dengan kecemasan pada anak prasekolah yang di ruang perawatan anak rumah sakit X

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti : Dapat memperkaya ilmu keperawatan khususnya tentang komunikasi terapeutik agar dapat diterapkan dengan baik dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien di rumah sakit.
2. Bagi Perawat : Dapat menjadi pendorong agar memberikan komunikasi terapeutik kepada pasien khususnya pasien anak, sehingga masalah psikologis pada anak dapat teratasi juga dapat membantu proses penyembuhan.
3. Bagi Institusi Pendidikan : Dapat menjadi tambahan informasi tentang pentingnya komunikasi terapeutik bagi pasien anak pra sekolah dan sebagai bahan informasi perawat untuk meningkatkan kemampuan pengetahuan dan sikap dalam berkomunikasi secara terapeutik.
4. Bagi Rumah Sakit : Dapat menjadi masukan yang digunakan untuk penerapan komunikasi terapeutik kepada pasien anak prasekolah sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.
5. Bagi Pasien : Dapat menjadi informasi sebagai pertimbangan memilih pelayanan kesehatan.
read more...

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PASI IBU DENGAN PASIEN DIARE PADA ANAK USIA 1-24 BULAN

BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
PASI adalah singkatan dari Pengganti Air Susu Ibu (PASI), dan umumnya berupa susu formula. PASI merupakan makanan bayi yang dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. (www.asuh.wikia.co. 2009). PASI dapat diberikan dalam keadaan dimana bayi harus dipisahkan dari ibunya, misalnya jika si ibu menderita sakit parah atau menular, bayi dapat diberi ASI sesuia petunjuk dokter atau tim kesehatan.
Berdasarkan rekomendasi dari WHO dan UNICEF di Geneva pada tahun 1979 menyusui merupakan bagian terpadu dari proses reproduksi yang memberikan makanan bayi secara ideal dan alamiah serta merupakan dasar biologik dan psikologik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Susu formula mudah terkontaminasi oleh kuman dan dalam pemberian susu formula harus disesuaikan dengan takaran susu dan umur bayi. Apabila takaran susu tidak sesuai maka mengakibatkan diare (Sarwono, 1999).
Bayi yang diberi susu formula mengalami kesakitan diare 10 kali lebih banyak yang menyebabkan angka kematian bayi juga 10 kali lebih banyak, infeksi usus karena bakteri dan jamur 4 kali lipat lebih banyak, sariawan mulut karena jamur 6 kali lebih banyak. Penelitian di Jakarta memperlihatkan persentase kegemukan atau obesitas terjadi pada bayi yang mengkonsumsi susu formula sebesar 3,4% dan kerugian lain menurunnya tingkat kekebalan terhadap asma dan alergi (Dwinda, 2006).
Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) (2003), angka kematian bayi di Indonesia sebesar 35/1000 kelahiran hidup. Angka kesakitan dan angka kematian bayi ditimbulkan salah satunya disebabkan dari dampak susu formula tersebut.
Menurut profil Dinkes Sumut 2005, pemberian ASI Eksklusif di 9 kabupaten Sumatera Utara yang tidak memberikan ASI eksklusif, Asahan 90%, Tanjung Balai 84%, Tobasa 81%, Tapsel 68,5%, Sibolga 68%, Taput 58,5%, Tapteng 46%, dan Labuhan Batu 39%.
Tidak semua bayi dapat menikmati ASI secara eksklusif dari ibu, hal ini dikarenakan oleh berbagai keadaan tertentu misalnya, keluarga ibu yang memutuskan untuk tidak menyusui bayi karena adanya suatu penyakit, misalnya: tuberculosis (TBC), atau Acuired Immunodeficiency Syndrom (AIDS). Dengan keadaan tersebut cara lain untuk memenuhi kebutuhan gizi pada bayi adalah dengan memberikan susu formula sebagai Pengganti Air Susu Ibu (PASI) (Roesli, 2000).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Cohen dan kawan-kawan di Amerika pada tahun 1995 diperoleh bahwa 25% ibu-ibu yang memberikan ASI secara eksklusif pada bayi dan 75% ibu-ibu yang memberikan susu formula pada bayi. Bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif lebih jarang terserang penyakit dibandingkan dengan bayi yang memperoleh susu formula, karena susu formula memerlukan alat-alat yang bersih dan perhitungan takaran susu yang tepat sesuai dengan umur bayi. Hal ini membutuhkan pengetahuan ibu yang cukup tentang dampak pemberian susu formula (Roesli, , 2000).
Angka kejadian dan kematian akibat diare pada anak-anak di negara-negara berkembang masih tinggi, lebih-lebih pada anak yang sedang mendapat susu formula dibandingkan dengan anak yang mendapat ASI. Meningkatnya penggunaan susu formula dapat menimbulkan barbagai masalah, misalnya kekurangan kalori protein tipe marasmus, moniliasis pada mulut, dan diare karena infeksi (Soetjiningsih, 1997).
Di Indonesia masih banyak ibu-ibu yang tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayi, karena kaum ibu lebih suka memberikan susu formula dari pada memberikan ASI. Hal ini disebabkan oleh pekerjaan ibu, penyakit ibu serta ibu-ibu yang beranggapan bahwa apabila ibu menyusui maka payudaranya tidak indah lagi sehingga suami tidak sayang (Soetjiningsih, 1997).
Presentasi kaum ibu-ibu yang berada di pedesaan yang memberikan ASI pada bayinya sebesar 80-90% sampai bayi berumur lebih dari 1 tahun. Tetapi dengan adanya iklan dan sumber informasi tentang susu formula maka kecendrungan masyarakat untuk meniru gaya hidup modern. Di Jakarta lebih dari 50% bayi yang berumur 2 bulan telah mendapat susu formula karena pada awalnya calon ibu tidak diberikan penjelasan dan penyuluhan tentang pemberian ASI eksklusif (Soetjiningsih, 1997).
Berdasarkan profil kesehatan Kecamatan Sibolga Sambas tahun 2008 menunjukkan bahwa 54 bayi dinyatakan 32 bayi mendapatkan susu formula. Sedangkan dari hasil tersebut menunjukkan bahwa masih ada ibu-ibu di Kecamatan Sibolga Sambas yang memberikan susu formula kepada bayi.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku PASI Ibu Dengan Pasien Diare Pada Anak Usia 1-24 Bulan Di Di Rumah Sakit X.

B. Masalah Penelitian
Pada penelitian RISDAYATI, 2008, mengenai perbedaan lama hari rawat inap diare pada anak (7-24 bulan) yang diberi ASI eksklusif degan yang diberi PASI di RS. X. dengan jumlah sampel 48 orang. Hasil penelitian sebanyak 34 (70,8%) dirawat dengan Diare, diberi PASI.
Dari data diatas peneliti ingin menegtahuai sejauhmana kontribusi Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku PASI Ibu Dengan Pasien Diare Pada Anak Usia 1-24 Bulan. Secara khusus masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran karakteristik responden
a. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan usia ibu.
b. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan pendidikan ibu.
c. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan pekerjaan ibu.
d. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan penghasilan keluarga..
2. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang Diare.
3. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang PASI.
4. Adakah hubungan antara pengetahuan ibu tentang Diare dengan perilaku PASI.
5. Adakah hubungan antara pengetahuan ibu tentang PASI dengan perilaku PASI.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahuai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku PASI Ibu dengan klien diare pada anak 1-24 bulan Di Rumah Sakit X.
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden
1) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan usia ibu.
2) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan pendidikan ibu.
3) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan pekerjaan ibu.
4) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan penghasilan keluarga..
b. Memperoleh informasi tentang gambaran pengetahuan ibu tentang Diare.
c. Memperoleh informasi tentang gambaran pengetahuan ibu tentang PASI.
d. Memperoleh informasi hubungan antara pengetahuan ibu tentang Diare dengan perilaku PASI.
e. Memperoleh informasi hubungan antara pengetahuan ibu tentang PASI dengan perilaku PASI.

D. Manfaat penelitian
1. Bagi ibu
Penelitian ini akan menjadi informasi dan masukan dalam meningkatkan pengetahuan ibu mengenai perilaku pemberian susu formula pada anak dalam mencegah diare.
2. Bagi Peneliti
Sebagai pengalaman berharga bagi peneliti dalam menerapkan ilmu metode penelitian dan menambah wawasan pengetahuan tentang perilaku PASI yang baik untuk mencegah diare.
3. Bagi institusi pendidikan
Penelitian ini dapat menjadi bahan referensi atau sumber informasi untuk penelitian berikutnya dan sebagai bahan bacaan di perpustakaan.
read more...

SKRIPSI DUKUNGAN PETUGAS KESEHATAN DALAM PELAKSANAAN PROGRAM UKS PADA SD NEGERI DI KECAMATAN X

BAB I
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Dewasa ini pemerintah telah dan sedang berusaha meningkatan derajat kesehatan masyarakat, termasuk masyarakat sekolah. Betapa tidak, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan demi tercapainya tujuan pendidikan nasional sangat ditunjang oleh kesehatan peserta didik di suatu lembaga pendidikan (Komang, 2008). Untuk mendukung terciptanya peserta didik yang sehat, sekolah dapat merealisasikan dengan mengaktifkan program usaha kesehatan sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan yang optimal sehingga dapat memaksimalkan potensi dan prestasi anak untuk belajar (McKenzie, 2007). Program ini terdiri dari tiga kegiatan utama yang disebut dengan Trias Usaha Kesehatan Sekolah meliputi aspek pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan, serta pembinaan lingkungan kehidupan sekolah yang sehat (Effendi, 1998).
Usaha kesehatan sekolah merupakan usaha kesehatan masyarakat yang dijalankan di sekolah-sekolah dengan anak didik beserta komunitas lingkungan sekolah sebagai sasaran utama. Guru UKS dan peserta didik adalah merupakan anggota primernya, masyarakat sekolah atau orang tua siswa, serta perawat komunitas dalam hal ini petugas kesehatan dari puskesmas menjadi pendukung pelaksana keberhasilan program kesehatan sekolah (Effendi, 1998). Di banyak negara berkembang termasuk Indonesia masih belum ada pelayanan sekolah yang menyeluruh, karena persoalan tenaga guru yang belum terlatih dan pendanaan untuk program usaha kesehatan sekolah yang belum memadai. Sedangkan untuk program usaha kesehatan sekolah diperlukan kerja tim yang efisien dan efektif untuk memberikan hasil yang optimal (Wahyuni, 2005).
Provinsi Sumatra Utara, khususnya kota X disampaikan bahwa belum semua Sekolah Dasar menjalankan program usaha kesehatan sekolah. Hal ini disebabkan tidak tersedianya ruang khusus, dana operasional kegiatan maupun kader kesehatan atau perawat usaha kesehatan sekolah yang dapat terlibat aktif Beberapa sekolah yang sudah memiliki program usaha kesehatan sekolah umumnya merupakan sekolah-sekolah yang sudah mapan dan mandiri (Zuraidi, 2009). Kondisi yang sama juga terjadi di Kabupaten X Provinsi X, dimana kabupaten ini memiliki 176 Sekolah Dasar dan tidak semua Sekolah Dasar Negeri tersebut melaksanakan program usaha kesehatan sekolah (Dinkes X, 2009).
Dari data survey awal peneliti ada satu kecamatan yaitu Kecamatan X yang telah melaksanakan program usaha kesehatan sekolah mencapai 73 persen atau 19 Sekolah Dasar dari 26 Sekolah Dasar Negeri yang ada, dan Puskesmasnya berhasil menjadi juara pertama pelaksanaan program usaha kesehatan sekolah untuk tingkat X (Data Puskesmas X, 2009). Melihat keberhasilan pelaksanaan program usaha kesehatan sekolah pada Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan X Kabupaten X diatas, maka penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui dukungan petugas kesehatan yang dapat memberikan keberhasilan pelaksanaan program usaha kesehatan sekolah di Sekolah-Sekolah Dasar Negeri.

2. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dukungan petugas kesehatan dalam pelaksanaan program usaha kesehatan sekolah pada Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan X Kabupaten X.

3. Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan bagaimana gambaran dukungan petugas kesehatan dalam pelaksanaan program usaha kesehatan sekolah pada Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan X Kabupaten X.

4. Manfaat Penelitian
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk praktek keperawatan dan riset keperawatan berikutnya.
4.1 Praktek keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi bagi petugas kesehatan, khususnya perawat UKS di unit pelayanan kesehatan masyarakat tentang hal yang mendukung pelaksanaan program usaha kesehatan sekolah pada Sekolah Dasar.
4.2 Riset Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan fakta yang ada tentang dukungan petugas kesehatan/perawat dalam pelaksanaan program usaha kesehatan sekolah sehingga berguna bagi penelitian selanjutnya dalam ruang lingkup yang sama.
read more...

SKRIPSI KARAKTERISTIK PERAWATAN LANSIA TERHADAP PEMENUHAN KEBUTUHAN GIZI DI PANTI WERDHA X

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Lanjut usia atau usia tua adalah suatu periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh bermanfaat (Hurlock, 1999). Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UUNo. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, dan Batubara, 2008).
Kemajuan di bidang kesehatan dan peningkatan pengetahuan masyarakat berdampak pada semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Dengan peningkatan ini maka usia harapan hidup juga akan bertambah, sehingga menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia/aging structured (UNICEF, 2007). Selanjutnya hasil survey United Nation International Children Found (UNICEF), mengemukakan bahwa pertambahan jumlah lanjut usia di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1990-2025 tergolong tercepat di dunia. Pada tahun 2006, jumlah lansia di Indonesia 20 juta dan diproyeksi akan bertambah menjadi 28, 8 juta atau sebesar 11, 34 % penduduk pada tahun 2020. Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh kementrian koordinator bidang kesejahteraan rakyat tahun 2006 masing-masing untuk pria adalah 66 tahun dan untuk wanita 69 tahun.
Bersamaan dengan bertambahnya usia lansia terjadi pula penurunan fiingsi organ tubuh dan berbagai perubahan fisiologis tubuh.
Menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2000 dilaporkan bahwa jumlah penduduk Kota Madya Medan sebesar 2.064.900 jiwa dan 13, 5% (278.895 jiwa penduduk) adalah lanjut usia (Suryadi dan Nugroho, (1999) didalam Darmojo, 2004)
Pada tahap perkembangan lansia, terjadi proses penuaan yang ditandai dengan menurunnya cadangan pada sebagian besar sistem fisiologis dan disertai dengan meningkatnya kerentangan terhadap penyakit dan kematian. Proses penuaan ini juga mengubah metabolisme tubuh yang diikuti oleh perubahan komposisi tubuh dan perubahan pola makan. Perubahan fisiologis di atas dapat juga menghalangi asupan diet, diantaranya : akuitas rasa dapat menurun sesuai usia, gigi palsu dapat meningkatkan rasa pahit dan asam, penurunan normal pada sekresi lambung menyebabkan kurang efisiensi pencernaan. Oleh karena itu lansia memiliki resiko cukup besar terhadap masalah nutrisi (Potter & Perry, 2005).
Semakin meningkatnya umur harapan hidup sebagai akibat dari keberhasilan pembangunan nasional sekarang ini, maka akan meningkatnya jumlah lansia. Pada saat sekarang ini lansia kurang sekali mendapat perhatian yang kurang serius di tengah masyarakat terutama mengenai kecukupan gizi pada mereka. Padahal kalau hal ini dibiarkan terus menerus, lansia itu dapat menjadi beban bagi keluarganya, masyarakat, bahkan bagi negara (Riyadi, 2001).
Panti werdha atau panti jompo adalah suatu institusi hunian bersama dari pada lanjut usia dari para lanjut usia yang secara fisik dan kesehatan masih mandiri dimana kebutuhan harian dari para penghuni biasanya disediakan oleh pengurus panti (Darmodjo & Martono, 1999). Sedangkan menurut Jhon (2008), panti jompa adalah tempat dimana tempat berkumpulnya orang - orang lanjut usia yang baik secara sukarela ataupun diserahkan oleh pihak keluarga untuk diurus segala keperluannya, dimana tempat ini ada yang dikelola oleh pemerintah maupun pihak swasta.
Peningkatan dalam tingkat harapan hidup manusia memang patut untuk disyukuri, namun disisilain kondisi ini menimbulkan polemik baru dalam kehidupan bermasyarakat maupun berkeluarga. Ketika seseorang sudah mencapai usia tua dimana fungsi-fungsi tubuhnya tidak dapat lagi berfungsi dengan baik maka lansia membutuhkan banyak bantuan dalam menjalani aktivitas-aktivitas kehidupannya. Belum lagi berbagai penyakit degeneratif yang menyertai keadaan lansia membuat mereka memerlukan perhatian ekstra dari orang-orang disekelilingnya.
Merawat lansia tidak hanya terbatas pada perawatan kesehatan fisik saja namun juga pada faktor psikologis dan sosiologis. Perlu diingat bahwa kualitas hidup lansia terus menurun seiring dengan semakin bertambahnya usia. Penurunan kapasitas mental, perubahan peran sosial, dementia (kepikunan), juga depresi yang sering diderita oleh lansia ikut memperburuk kondisi mereka. Hal ini masih ditambah dengan manifestasi yang kompleks dari depresi.
Pertanyaan selanjutnya adalah "Bagaimana cara untuk merawat lansia agar mereka dapat melalui kehidupannya dengan lebih baik?" Terdapat dua pilihan bagaimana untuk merawat lansia. Lansia dapat dirawat di rumah sendiri oleh keluarganya atau dapat juga dirawat di tempat yang kita kenal sebagai rumah jompo.
Nilai kekeluargaan yang sangat dipegang erat oleh sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin menjadi salah satu alasan mengapa rumah jompo bukan menjadi suatu pilihan dalam perawatan lansia. Mengirim keluarga yang sudah berumur dan memerlukan perawatan ekstra ke rumah jompo dianggap sebagai perbuatan yang tidak terpuji. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan ekstra lansia tersebut mereka mempekerjakan seorang perawat untuk merawat orangtuanya di rumah.
Melalui cara ini memang terdapat keuntungan maupun kerugiannya. Lansia dapat tetap tinggal di rumah sehingga ia mendapatkan rasa nyaman dan aman. Namun juga banyak hal yang harus diperhatikan secara seksama. Perlu diingat bahwa lansia memerlukan berbagai hal lain untuk dapat mempertahankan kualitas hidupnya seperti latihan-latihan yang dapat melatih kekuatan tubuhnya agar tidak terus menurun, ataupun bagaimana untuk mempertahankan fiingsi kognitifnya. Tak lupa bahwa lansia juga membutuhkan sosialisasi. Hal ini menuntut perhatian khusus dari keluarga yang menjaga lansia tersebut. Jangan sampai lansia merasa sendirian yang akan berdampak pada depresi walaupun berada di rumahnya sendiri.
Pada keadaan dimana keluarga dari lansia mempunyai keterbatasan waktu, dana, tenaga, dan kemampuan untuk merawat lansia maka rumah jompo dapat menjadi pilihan. Rumah jompo sekarang ini bukan merupakan tempat yang kumuh, reot ataupun jelek tetapi kini telah banyak rumah jompo yang baik dan tertata rapih juga menyediakan perawatan serta fasilitas yang baik dan lengkap untuk merawat lansia.
Di rumah jompo para lansia akan menemukan banyak teman, dimana selain mereka mendapatkan perawatan yang maksimal, juga telah diadakan berbagai kegiatan dan aktifitas yang dapat membantu mereka dalam mempertahankan fungsi motorik dan kognitifnya, seperti permainan, olahraga, keterampilan, juga terdapat hiburan. Makanannya pun telah diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dengan baik. Pengukuran tanda-tanda vital seperti pengukuran tekanan darah, pengecekan gula darah, dll menjadi salah satu rutinitas di rumah jompo.
Namun patut diperhitungkan bahwa lansia kadang sukar beradaptasi terhadap lingkungan maupun suasana baru dan kadang lebih menyukai tinggal di rumahnya sendiri. Menjadi tua dan lemah adalah proses yang tidak terelakkan. Perawatan lansia harus dilakukan dengan teliti, sabar, dan penuh cinta. Perawatan lansia diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup lansia sehingga mereka tetap merasa bahagia dan dapat menjalani kehidupan masa tuanya dengan lebih baik. (Versayanti, 2008).
Berdasarkan paparan di atas, penulis ingin mengkaji tentang "Karakteristik perawatan lansia terhadap kebutuhan pemenuhan gizi di Panti Werdha X".

1.2 Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi karakteristik perawatan lansia terhadap pemenuhan kebutuhan gizi di Panti Werdha X.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana karakteristik perawatan lansia terhadap pemenuhan kebutuhan gizi di Panti Werdha X.

1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk praktek keperawatan, pendidikan keperawatan, dan penelitian keperawatan yang akan datang. Secara rinci manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang karakteristik perawatan lansia terhadap pemenuhan gizi di Panti Werdha X, sehingga diharapkan akan dapat membantu perawat dalam meningkatkan pelayanan keperawatan yang berhubungan dengan masalah gizi lansia khususnya di Panti Werdha X.
1.4.2 Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar informasi bagi institusi pendidikan keperawatan tentang karakteristik perawatan lansia terhadap pemenuhan gizi di Panti Werdha X, dalam meningkatkan dan memperbaiki pendidikan keperawatan komunitas.
1.4.3 Penelitian Keperawatan yang akan datang
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi pengembangan penelitian keperawatan selanjutnya yang berhubungan dengan pemenuhan gizi lansia yang dilakukan di berbagai tempat lainnya.
read more...

SKRIPSI HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN ISPA DENGAN KEKAMBUHAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS X

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi dan kurang gizi merupakan penyebab kematian balita di negara maju maupun di negara berkembang. Penyakit infeksi yang sering terjadi pada balita adalah Diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Infeksi telinga, Radang tenggorokan, dan Tetanus. Dari antara penyakit ini, kasus ISPA adalah kasus yang paling tinggi. Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada anak berusia dibawah 5 tahun, dan 30% pada anak 5-12 tahun. Kasus ISPA di negara berkembang 2-10 kali lebih banyak dari pada di negara maju. Perbedaan ini berhubungan dengan etiologi dan faktor resiko. Dinegara maju, ISPA di dominasi oleh virus, sedangkan dinegara berkembang ISPA sering disebabkan oleh bakteri seperti S. Pneumonia dan H. Influenza. Di negara berkembang, ISPA dapat menyebabkan 10%-25% kematian dan bertanggung jawab terhadap 1/3-1/2 kematian pada balita (Raharjoe, 2008; WHO, 2003).
Di Indonesia, ISPA sering disebut sebagai "pembunuh utama". Kasus ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien kesarana kesehatan yaitu 40%-60% dari seluruh kunjungan ke Puskesmas dan 15%-30% dari seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap Rumah Sakit. Diperkirakan kematian akibat ISPA khususnya Pneumonia mencapai 5 kasus diantara 1000 balita. Ini berarti ISPA mengakibatkan 150.000 balita meninggal tiap tahunnya, atau 12.500 korban perbulan, atau 416 kasus perhari, atau 17 anak perjam atau seorang bayi tiap 5 menit (Depkes, 2004).
Kematian pada penderita ISPA terjadi jika penyakit telah mencapai derajat ISPA yang berat. Paling sering kematian terjadi karena infeksi telah mencapai paru-paru. Keadaan ini disebut sebagai radang paru mendadak atau pneumonia. Sebagian besar keadaan ini terjadi karena penyakit ringan (ISPA ringan) yang diabaikan. Sering kali penyakit dimulai dengan batuk pilek biasa, tetapi karena daya tahan tubuh anak lemah maka penyakit dengan cepat menjalar ke paru-paru. Jika penyakitnya telah menjalar ke paru-paru dan anak tidak mendapat pengobatan serta perawatan yang tepat, anak dapat meninggal. Perawatan yang dimaksud adalah perawatan dalam pengaturan pola makan balita, menciptakan lingkungan yang nyaman sehingga tidak mengganggu kesehatan, menghindari faktor pencetus seperti asap dan debu serta menjaga kebersihan diri balita. (Depkes, 2002).
Angka kejadian ISPA yang masih tinggi pada balita disebabkan oleh tingginya frekuensi kejadian ISPA pada balita. Dalam satu tahun rata-rata seorang anak di pedesaan dapat terserang ISPA 3-5 kali, sedangkan di daerah perkotaan sampai 6-8 kali. Penyebab tingginya kekambuhan ISPA pada balita terkait dengan banyaknya faktor yang berhubungan dengan ISPA. Beberapa faktor yang berkaitan dengan ISPA pada balita antara lain usia, keadaan gizi yang buruk, status imunisasi yang tidak lengkap serta kondisi lingkungan yang buruk seperti ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat, kepadatan hunian rumah yang terlalu padat, pencemaran udara (asap dan debu) di dalam rumah maupun di luar rumah (Arsyad, 2000; Raharjoe, 2008; Yuwono, 2007; Warouw, 2002). Pencemaran udara di dalam rumah berasal dari dari asap rokok, asap dapur dan asap dari obat nyamuk yang digunakan di dalam rumah, sementara polusi udara di luar rumah berasal dari gas buangan trasportasi, asap dari pembakaran sampah dan asap dari pabrik (Astuti, 2006).
Thamrin (2001) mengatakan bahwa ISPA pada balita berhubungan dengan status gizi balita yang buruk. Balita yang memiliki status gizi yang buruk sekitar 71,50% mengalami ISPA, hal ini berhubungan dengan daya tahan tubuh yang berkurang. Penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian Arsyad (2003) yang menyatakan bahwa status gizi merupakan faktor resiko yang paling dominan mempengaruhi ISPA pada balita. Keadaan lingkungan balita juga behubungan dengan ISPA pada balita. Peluang balita yang tinggal dalam rumah dengan pencemaran dalam ruangan akan terkena ISPA sebesar 6,09 kali dibandingkan dengan balita tanpa pencemaran ruangan. Balita yang tinggal dilingkungan rumah dengan penggunaan bahan bakar biomassa mempunyai resiko 10,9 kali menderita ISPA dibandingkan dengan anak yang tinggal di lingkungan rumah tanpa menggunakan bahan bakar biomassa (Chin, 2000 dalam Agustama, 2005). Disamping itu paparan asap rokok juga sangat mempengaruhi timbulnya ISPA pada balita. Dewa (2001) mengatakan balita yang terpapar asap rokok mempunyai resiko 7,1 kali lebih besar untuk terkena ISPA. disamping itu, keadaan sanitasi fisik rumah (suhu, kelembaban penerangan, ventilasi dan kepadatan hunian) berhubungan dengan ISPA pada balita. Balita yang tinggal di dalam lingkungan rumah dengan keadaaan sanitasi fisik rumah yang buruk mempunyai resiko terkena ISPA 1,23 kali dibandingkan dengan balita yang tinggal dilingkungan rumah dengan sanitasi fisik rumah yang baik.
Untuk menghilangkan atau mengurangi kemungkinan yang dapat meningkatkan potensi anak terkena ISPA, maka diperlukan upaya pencegahan. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), mengatur pola makan dengan tujuan memenuhi nutrisi balita, menciptakan lingkungan yang nyaman serta menghindari faktor pencetus.
Keluarga atau rumah tangga adalah unit masyarakat terkecil. Oleh sebab itu untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang baik harus dimulai dari keluarga. Orang tua (ayah dan ibu) merupakan sasaran utama dalam pencegahan suatu penyakit. Orang tua yang memiliki peran yang buruk dalam menjaga kesehatan keluarga akan mempengaruhi angka kesehatan anggota keluarga terutama anggota keluarga yang masih balita (Notoadmojo, 2003).
Salah satu periode pertumbuhan dan perkembangan yang cukup mendapat perhatian bidang kesehatan adalah usia balita. Upaya pembangunan dan pembinaan kesehatan pada usia balita merupakan periode transisi tumbuh kembang. Secara fisik usia balita merupakan usia pertumbuhan dimana usia ini semua sel termasuk sel-sel yang sangat penting seperti sel otak mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Sedangkan secara psikologis usia balita merupakan usia perkembangan mental, emosional dan intelektual yang pesat juga. Pertumbuhan dan perkembangan pada usia balita ini akan berjalan secara optimal dan serasi jika kondisi kesehatan balita dalam keadaan optimal pula (Depkes, 2005).
Anak adalah aset bagi orang tua dan ditangan orang tua anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat baik fisik maupun mental. Secara sosiologis anak balita sangat tergantung pada lingkungan, karena itu keterlibatan orang tua diperlukan sebagai mekanisme untuk menurunkan dampak masalah kesehatan pada anak dan keluarganya (Nelson, 2003). Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri, lingkungan yang dimaksud adalah orang tua (Supartini, 2004)
Dari survei awal yang dilakukan pada tanggal 7 Mei 2009 di Puskesmas X menunjukkan angka kejadian ISPA pada tahun 2008 di wilayah kerja puskesmas ini terjadi sebanyak 10.735 kasus (57,90%) dan sebanyak 4849 kasus terdiri dari balita (Laporan tahunan puskesmas X, 2008)
Berdasarkan data yang di dapat dan pentingnya peran orang tua dalam pencegahan kejadian ISPA maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas X.

1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan judul penelitian, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana peran orang tua dalam pencegahan ISPA di wilayah kerja Puskesmas X.
2. Bagaimana kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas X.
3. Apakah ada hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas X

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas X.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui peran orang tua dalam pencegahan ISPA di wilayah kerja puskesmas X
2. Mengetahui kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas X
3. Menguji hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas X

1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hipotesa Alternatif (Ha) yaitu ada hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Marubung X

1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1.5.1 Praktek Keperawatan
Sebagai masukan dan informasi bagi tenaga kesehatan khususnya perawat dalam pemberian penyuluhan dan asuhan keperawatan terhadap upaya pencegahan ISPA.
1.5.2 Pendidikan Keperawatan
Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pendidikan keperawatan khususnya keperawatan anak dalam memberikan asuhan keperawatan yang terkait dengan peran orang tua terhadap pencegahan ISPA pada balita dan sebagai informasi bagi mahasiswa untuk mengetahui pentingnya peran orang tua terhadap upaya pencegahan ISPA.
1.5.3 Peneliti Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dan bahan perbandingan bagi penelitian sejenis seperti hubungan karakteristik balita dan orang tua terhadap kejadian ISPA pada balita.
read more...

Jumat, 31 Agustus 2012

SKRIPSI PENANAMAN NILAI-NILAI AGAMA ISLAM PADA SISWA TK X






BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pemeliharaan, perawatan dan pendidikan anak merupakan sesuatu yang sangat penting yang harus diperhatikan oleh kedua orang tua dan para pendidik. Lantaran anak-anak merupakan cikal bakal generasi penerus dari sebuah bangsa dan sekaligus merupakan sebuah amanat dari Allah SWT yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu sebagai ujian dan (cobaan) dan sesungguhnya di sisi Allah lah yang besar". (QS. Al-Anfal: 28)
Dalam siklus kehidupan manusia, masa kanak-kanak merupakan periode yang paling penting, namun sekaligus juga merupakan periode yang memerlukan perhatian dan kesungguhan dari pihak-pihak yang bertanggungjawab mengenai kehidupan anak-anak.
Masa kanak-kanak merupakan sebuah periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter dari seorang manusia agar mereka tidak memiliki kekuatan dan kemampuan serta mampu berdiri tegak dalam meniti kehidupan. Oleh sebab itu kedua orang tua dan pendidik dituntut untuk memenuhi kebutuhan anak-anak agar mereka terpelihara serta dapat menerapkan semua petunjuk dan pedoman yang diberikan kepada mereka untuk bekal kehidupan kelak dikemudian hari.
Proses pemeliharaan, perawatan dan pendidikan anak sebenarnya sama halnya dengan menabur benih, jika cara menabur benih tersebut dilakukan dengan benar di atas lahan pertanian yang subur pula, maka tentunya akan menghasilkan tanaman dan buah yang baik pula. Demikian pula pendidikan yang baik, lurus dan mulia akan menghasilkan generasi yang baik, lurus, dan mulia pula. Dan sebaliknya pendidikan yang sesaat, keliru dan tidak bertanggungjawab akan menghasilkan suatu generasi penerus dan tidak dapat diharapkan.
Pemikiran sosial dalam Islam setuju dengan sosial modern yang mengatakan bahwa keluarga merupakan unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat di mana hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya sebagian besar bersifat hubungan-hubungan langsung. Di sinilah berkembang individu dan terbentuknya tahap-tahap awal proses pemasyarakatan dan melalui interaksi dengannya ia memperoleh keterampilan, minat, nilai-nilai emosi dan sikapnya dalam hidup. Dengan itu ia memperoleh ketenteraman dan ketenangan.
Berkenaan dengan pendidikan dikemukakan antara lain sebagai berikut; ��pendidikan berlangsung seumur hidup dan di laksanakan di dalam lingkungan, rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggungjawab antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Tanggungjawab pendidik diselenggarakan dengan kewajiban mendidik.secara umum mendidik ialah membantu anak didik di dalam perkembangan dari daya-dayanya dan di dalam penetapan nilai-nilai. Bantuan atau bimbingan itu dilakukan dalam pergaulan antara pendidik dan anak didik dalam situasi pendidikan yang terdapat dalam lingkungan rumah tangga, sekolah maupun masyarakat.Bimbingan itu adalah aktif dan pasif. Dikatakan "pasif� artinya sipendidik tidak mendahului "masa peka" akan tetapi menunggu dengan seksama dan sabar. Sedangkan bimbingan aktif terletak di dalam ; (a) pengembangan daya-daya yang sedang mengalami masa pekanya (b) pemberian pengetahuan dan kecakapan yang penting untuk masa depan si anak dan (c) membangkitkan motif-motif yang dapat menggerakkan sianak untuk berbuat sesuai dengan tujuan hidupnya.
Pemberian bimbingan ini dilakukan oleh orang tua di dalam lingkungan rumah tangga, para guru di dalam lingkungan sekolah dan masyarakat. Sedangkan pendidikan Islam adalah mengembangkan atau membantu tumbuh suburnya agama tersebut pada manusia (anak), dalam pengertian bagaimana pendidik agama membelajarkan anak, agar mereka mampu mengaktualkan imannya melalui amal-amal saleh untuk mencapai prestasi iman (taqwa).
Pendekatan keagamaan dalam pendidikan anak dimaksudkan adalah bagaimana cara pendidik memproses anak didik melalui kegiatan bimbingan, latihan atau pengajaran keagamaan, termasuk di dalamnya mengarahkan, mendorong dan memberi semangat kepada anak agar taat dan mempunyai cita rasa beragama Islam, untuk mencapai tujuan pendidikan pada anak TK tersebut.
Menurut Zakiah Daradjat (1976), bahwa perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang di laluinya terutama pada masa-masa pertumbuhan yang pertama (masa anak) dari umur 0-12 tahun. Masa ini merupakan masa yang sangat menentukan bagi pertumbuhan dan perkembangan agama anak untuk masa berikutnya.
Ajaran agama yang diberikan pada anak bukan pengajaran dan pemberian pengertian yang muluk-muluk, karena keterbatasan kemampuan dan kesanggupan anak dalam perbendaharaan bahasa atau kata-kata. Pendidikan keagamaan pada anak lebih bersifat teladan atau peragaan hidup secara riil, dan belajar dengan cara meniru-niru, menyesuaikan dan mengintegrasi diri dalam suatu suasana. Karena itu latihan-latihan keagamaan dan pembiasaannya itulah yang harus lebih ditonjolkan, misalnya latihan ibadah sholat, do'a, membaca Al-Qur'an, menghafalkan ayat-ayat pendek, sholat berjamaah di musholla atau masjid, latihan dan pembiasaan akhlak atau ibadah sosial dan sebagainya. Dengan demikian lama kelamaan anak akan tumbuh rasa senang dan terdorong untuk melakukan ajaran-ajaran agama tanpa ada paksaan atau suruhan dari luar, tetapi justru merupakan dorongan dari dalam dirinya.
Dalam proses pendidikan,metode mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan karena ia menjadi sarana yang membermaknakan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami atau diserap oleh manusia didik menjadi pengertian-pengertian yang fungsional terhadap tingkah lakunya.
Bila metode, cara, tehnik yang digunakan pada lembaga taman kanak-kanak tidak sesuai dengan proses pembelajaran maka tujuan pendidikan untuk mencetak generasi akhlakul karimah tidak akan berhasil.
Berdasarkan pokok pemikiran di atas penulis tertarik untuk meneliti dan mengangkat menjadi skripsi dengan judul "penanaman nilai-nilai agama Islam pada siswa taman kanak-kanak (studi kasus di RA X) dengan alasan sebagai berikut:
1. Fase kanak-kanak merupakan fase yang paling baik untuk menerapkan dasar-dasar hidup beragama, oleh karena itu penanaman nilai-nilai yang baik sangat dibutuhkan oleh manusia kapanpun dan di manapun.
2. Untuk menciptakan pribadi seorang anak yang shaleh dan shalehah, maka dibutuhkan cara-cara metode yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut.
3. Setiap lembaga mempunyai fungsi dan tujuan dalam melaksanakan proses pendidikannya, adapun fungsi utama pendidikan itu adalah untuk menumbuhkan kreatifitas peserta pendidik dan menanamkan nilai yang baik karena itu tujuan akhir pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi kreatif peserta didik agar menjadi manusia yang baik, menurut pandangan manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.

B. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalah fahaman dalam memahami judul skripsi ini, penulis perlu menjelaskan beberapa istilah yang digunakan yaitu:
1. Penanaman, penanaman adalah proses (perbuatan, cara) menanamkan.
Jadi yang dimaksud penanaman di sisni adalah bagaimana usaha seorang guru menanamkan nilai-nilai keagamaan pada anak didiknya yang dilandasi oleh pemahaman terhadap berbagai kondisi pembelajaran yang berbeda-beda.
2. Nilai Agama Islam
Nilai adalah seperangkat keyakinan atau perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran keterikatan atau perilaku.
Jadi nilai agama Islam adalah seperangkat keyakinan yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran yang bersumber pada ajaran agama Islam.
3. Taman Kanak-Kanak
Taman Kanak-Kanak adalah jenjang pendidikan pra sekolah untuk anak-anak (yang berumur 3-6 tahun).

C. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah dan penegasan istilah seperti dikemukan di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini adalah:
1. Bagaimana proses penanaman nilai-nilai agama Islam di Taman Kanak-Kanak?
2. Bagaimana metode penanaman nilai-nilai agama Islam di Taman Kanak-Kanak?
3. Bagaimana hasil dari penggunaan metode penanaman nilai-nilai agama Islam?

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui proses penanaman nilai-nilai agama Islam di Taman Kanak-Kanak.
2. Untuk mengetahui metode apa yang digunakan dalam penanaman nilai agama Islam di Taman Kanak-Kanak.
3. Untuk mengetahui hasil dari penggunaan metode penanaman nilai-nilai agama Islam.

E. Metodologi Penelitian
Adapun mengenai sumber data yang digunakan pada metodologi penelitian, penulis membaginya dalam dua bagian:
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara lansung dari masyarakat, baik yang dilakukan secara wawancara observasi dan alat lainnya. Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang tinjauan historis, sarana dan prasarana, keadaan gedung, guru siswa dan karyawan.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan yang merupakan data penunjang sebagai data pendukung sebagai bahan perbandingan, penjelasan atau analisis yang dianggap relevan dengan kajian ini. Sumber sekunder yang dimaksud adalah buku-buku atau bentuk karya tulis lain yang berkaitan dengan penanaman nilai-nilai agama Islam.
Fokus penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Proses penanaman nilai-nilai agama Islam di Taman Kanak-Kanak, meliputi pengembangan agama Islam di Raudlatul athfal, metode penanaman nilai-nilai agama Islam.
b. Hasil penggunaan metode penanaman nilai-nilai agama Islam.

F. Metode Penelitian
Ada dua metode dalam penulisan penelitian ini, yaitu:
1. Metode Pengumpulan Data
Ada dua metode yang dipakai penulis dalam mengumpulkan data yang pertama library research, salah satu yang perlu dilakukan dalam persiapan penelitian adalah mendayagunakan sumber informasi yang terdapat di perpustakaan dan juga informasi yang tersedia. Pemamfaatan perpustakaan ini diperlukan baik untuk penelitian lapangan maupun penelitian bahan dokumentasi (data sekunder). Tidak mungkin suatu poenelitian dapat dilakukan dengan baik tanpa orientasi pendahuluan di perpustakaan. Dalam hal ini penulis akan memanfaatkan sumber informasi yang terdapat di perpustakaan yang berupa: buku-buku ilmiah, majalah dan lain sebainya yang ada kaitannya dengan nilai-nilai agama Islam. Field research yaitu data yang diambil dari lapangan dengan menggunakan metode:
a. Metode Observasi
Observasi adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan terhadap objek. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Metode observasi ini peneliti gunakan untuk mengetahui proses penanaman nilai-nilai agama Islam di RA X.
b. Metode Wawancara
Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.19 Interviu ini penulis gunakan untuk menambah keterangan/informasi tentang bagaimana metode penanaman nilai-nilai agama Islam. Interviu ini peneliti lakukan dengan guru-guru di RA X.
c. Metode Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger agenda dan sebagainya.
Metode ini peneliti pergunakan untuk mendapatkan keterangan RA X, yang meliputi tinjauan historis, letak geografis, struktur organisasi, keadaan para pengajar dan siswa, serta sarana dan prasarana.
2. Metode Analisis Data
Setelah penulis mengumpulkan data, maka tahap berikutnya adalah analisis data.
Adapun metode yang penulis gunakan adalah:
a. Metode induktif yaitu suatu analisa dengan mengambil kesimpulan dimulai dari pernyataan atau fakta khusus menuju umum.
b. Metode deduktif yaitu menarik kesimpulan dimulai dari pernyataan untuk menuju pernyataan khusus dengan menggunakan penalaran.
c. Metode Diskriptif yaitu representasi obyektif terhadap fenomena yang ditangkap. Metode tersebut menuturkan dan mentafsirkan data yang ada, data yang mula-mula dikumpulkan, disusun, dijelaskan dan dinalisis.
Yang penulis maksudkan di sini adalah menggambarkan serta menjelaskan tentang metode yang digunakan dan hasil penggunaan dari metode dalam penanaman nilai agama Islam.

G. Sistematika Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Bagian muka, yang berisi tentang: Halaman Judul, nota pembimbing, pengesahan, motto, persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, dan daftar lampiran.
2. Bagian isi yang terdiri dari:
BAB I : Pendahuluan, yang terdiri atas :
A. Latar belakang masalah
B. Penegasan istilah
C. Permasalahan
D. Tujuan penelitian
E. Metode penelitian
F. Sistematika penulisan skripsi
BAB II : Perkembangan dan Penanaman Agama Pada Masa Kanak-Kanak, terdiri dari sub bab, yaitu :
A. Perkembangan pada usia kanak-kanak, meliputi :
1. Periode masa kanak-kanak
2. Gejala-gej ala perilaku yang menonjol
B. Penanaman nilai-nilai agama pada masa kanak-kanak, meliputi :
1. Nilai-nilai pokok agama Islam.
2. Tujuan penanaman agama Islam pada masa kanak-kanak.
3. Pendekatan penanaman nilai-nilai agama Islam pada masa kanak-kanak.
4. Metode penanaman nilai-nilai agama Islam.
BAB III : Pelaksanaan Pendidikan di RA X, meliputi :
A. Situasi umum RA X.
B. Proses penanaman nilai-nilai agama Islam.
C. Pendekatan yang dipakai dalam proses penanaman nilai-nilai agama Islam.
D. Metode yang dipakai dalam proses penanaman nilai-nilai agama Islam.
BAB IV : Analisa tentang Proses Penanaman Nilai-nilai Agama Islam pada Siswa Taman Kanak-kanak, berisi :
A. Input penanaman nilai-nilai agama Islam.
B. Proses penanaman nilai-nilai agama Islam.
C. Output proses penanaman nilai-nilai agama Islam.
D. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam proses penanaman nilai-nilai agama Islam.
BAB V : Penutup, meliputi :
A. Kesimpulan.
B. Saran-saran.
C. Penutup.
3. Bagian Akhir, terdiri dari :
Daftar pustaka, daftar riwayat pendidikan penulis dan lampiran-lampiran.
read more...

Kamis, 30 Agustus 2012

SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN X

(KODE KEPRAWTN-0001) : SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN X

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau yang biasa disebut Demam Berdarah Dengue (DBD), sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1968 sampai dengan sekarang, seringkali menyebabkan kematian dan menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia (Effendi, 1995). Di Indonesia, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat, baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit secara sporadic dan selalu terjadi kejadian luar biasa (KLB) pada setiap tahunnya.(Effendi, 1992 dalam Riswanto,2003).
KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Insidence Rate (IR) = 35.19 Per 100.000 dan CFR = 2 %. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10.17 %, namun pada tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat hingga mencapai 15.99 % pada tahun 2000, 21.66 % pada tahun 2001, 19.24 % pada tahun 2002, dan 23.87 % pada tahun 2003 (Depkes, 2004). Sedangkan data pada tahun 2008 menunjukkan 28.244 kejadian dengan jumlah kematian 348 orang (Waspada, 2008). Dari jumlah populasi masyarakat di Kecamatan X sebanyak 1020 jiwa terdapat 380 orang yang terinfeksi Demam Berdarah Dengue (DBD) dan diantaranya terdapat 45 orang yang meninggal dunia (Dinas Kesehatan X).
Penyakit DBD belum ditemukan vaksinnya, sehingga tindakan yang paling efektif untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk ini adalah dengan program pemberantasan sarang nyamuk (Hadinegoro, 1997 dalam Nanda Febriansyah, 2008). Dari berbagai kegiatan yang dilaksanakan Pemerintah dalam rangka pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) melalui upaya-upaya pencegahan yang dilakukan secara berkelanjutan, namun hasilnya belum optimal bahkan masih dijumpai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menelan korban jiwa. Hal ini tentu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang pencegahan Demam Berdarah Dengue/DBD. (http://www.Pengetahuans DBD.com dalam Nanda , 2008).
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti pengendalian lingkungan, pengendalian biologis dan pengendalian kimiawi. (Depkes, 1991 dalam Soetopo, 2007).
Meskipun telah banyak penyuluhan yang dilakukan, target Pemerintah untuk menurunkan angka kejadian DBD menjadi 20 per 100.000 penduduk di daerah endemis masih tetap sulit dicapai pada 2009 karena pada akhir 2008 saja jumlah kasus DBD masih tetap tinggi. Target 20 per 100.000 saat ini terlalu tinggi karena kasus yang terjadi sekarang ini belum memperlihatkan kecenderungan menurun yang signifikan. Secara Nasional angka kejadian DBD saat ini 48 per 100.000 dengan angka kematian/Case Fatality Rate (CFR) saat ini adalah 1.8 %, tidak jauh berbeda dengan angka kejadian DBD tahun 2008 sebanyak 50 per 100.000 penduduk dengan angka kematian sebesar 1 %. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang pencegahan DBD. (Kandun, 2009 dalam http://www.Pemberantasan DBD.com).
Sujono (1991) dalam Kajian Utama Untuk Memberantas DBD mengatakan bahwa pengetahuan masyarakat di Indonesia pada umumnya relatif masih sangat rendah, sehingga perlu dilakukan sosialisasi berulang mengenai pencegahan DBD. Menurut Ajeng, (1996) dalam Sosialisasi Pencegahan DBD, penyuluhan tentang pencegahan DBD hams sering dilakukan agar masyarakat termotivasi untuk ikut berperan serta dalam upaya-upaya tersebut.
Umumnya masyarakat di Kabupaten X memiliki penghasilan terbesar dari perkebunan dan perikanan, sehingga daerah tersebut memiliki masalah lingkungan yang beresiko menyebabkan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan masyarakat Kecamatan X tentang bahaya Demam Berdarah Dengue (DBD). Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa orang warga diketahui bahwa lebih banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang bagaimana cara pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) yang telah di sosialisasikan oleh Pemerintah.
Atas dasar tersebut di atas, perlu dilakukan penelitian tentang tingkat pengetahuan masyarakat tentang pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan X.

1.2 Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi tingkat pengetahuan masyarakat tentang pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan X.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Bagaimana tingkat pengetahuan masyarakat Kecamatan X tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah Demam Berdarah Dengue (DBD).

1.4 Manfaat Penelitian
a. Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan dalam pembelajaran mengenai tingkat pengetahuan masyarakat tentang pencegahan DBD.
b. Pelayanan Keperawatan Komunitas
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber acuan dalam meningkatkan pelayanan Keperawatan Komunitas terutama dalam menangani masalah tingkat pengetahuan masyarakat tentang pencegahan DBD.
c. Penelitian Selanjutnya
Hasil Penelitian ini juga dapat digunakan peneliti selanjutnya sebagai bahan perbandingan dan referensi tambahan terkait dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan X.
read more...

SKRIPSI IMPLEMENTASI WEWENANG KEPOLISIAN UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN PENGAMBILAN SIDIK KAKI DALAM RANGKA PROSES PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

(KODE ILMU-HKM-0047) : SKRIPSI IMPLEMENTASI WEWENANG KEPOLISIAN UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN PENGAMBILAN SIDIK KAKI DALAM RANGKA PROSES PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN


BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum bukan Negara kekuasaan belaka.Pernyataan para pendiri Negara Republik Indonesia pada waktu itu sekaligus meletakan rambu-rambu pengendali terhadap siapa saja yang diberi kepercayaan untuk menyelengarakan pemerintahan di republic Indonesia.Tujuan atau Fungsi hokum pada umumnya sebagai pengayom, melindungi, yaitu dengan jalan menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh di lakukan.
Mewujudkan tata kehidupan bermasyarakat memanglah tidak mudah semua itu tergantung pada setiap individu yang ada pada lingkup masyarakat dalam menjalani kehidupanya sehari-hari.Mampu atau tidak memperjuangkan hal tersebut terutama dalam hal kualitas perilaku dan pengendalian diri dari setiap individu tidak dapat di kontrol lagi pada akhirnya dapat terjadi kejahatan sehungga timbul ketidaknyamanan dan ketidakadilan terhadap yang berada di lingkungan sekitar.
Kejahatan menurut hukum pidana dapat dinyatakan sebagai perilaku yang merugikan terhadap kehidupan sosial (social injury), atau perilaku yang bertentangan dengan ikatan-ikatan sosial (anti sosial), ataupun perilaku yang tidak disesuai dengan pedoman hidup bermasyarakat (non-conformist). Konsekuensi dari proses interaksi sosial yang menyangkut terhadap perilaku kejahatan akan mendapatkan reaksi sosial. Reaksi-reaksi sosial terhadap kejahatan dalam masyarakat mempunyai berbagai wujud, yakni sebagian kejahatan ada yang dihukum sesuai dengan rumusan-rumusan hukum tentang kejahatan, dan sebagian lain ada pula yang diberikan reaksi sosial tanpa dihukum. Wujud reaksi sosial berubah-ubah sesuai dengan perubahan kondisi sosial, baik yang formal oleh pejabat yang berwenang maupun yang informal oleh kalangan masyarakat tertentu.
Terjadinya proses kejahatan ditinjau dari tingkat pertumbuhan sejak dahulu, dapat dikelompokkan menjadi bentuk kejahatan individual dan kejahatan konvensional yang menyentuh kepentingan orang dan harta kekayaan sebagaimana telah dirumuskan dalam aturan hukum pidana atau kodifikasi hukum pidana. Akan tetapi, dalam perkembangan kehidupan masyarakat yang makin kompleks kepentingannya itu, menumbuhkan bentuk-bentuk kejahatan inkonvensional yang makin sulit untuk merumuskan norma dan saksi hukumnya, sehingga menumbuhkan aturan hukum pidana baru yang bersifat peraturan khusus. Kejahatan konvensional menyentuh kepentingan hak asasi, ideologi negara, dan lain-lainnya yang dinyatakan sebagai perilaku jahat dengan modus operandi dan kualitas yang makin sulit untuk dijangkau oleh aturan hukum pidana yang berlaku umum.
Dilihat dari segi kuantitas, tidak kejahatan yang terjadi sekarang ini semakin meningkat. Tindak kejahatan yang meningkat itu disebabkan oleh banyak faktor, antara lain kemiskinan, tingkat pengangguran yang tinggi dan tingkat pendidikan yang rendah. Sebagai contoh dapat kita ketahui banyak Para pemuda yang menjadi pengamen dan anak jalanan yang melakukan tindak kekerasan terhadap para pemakai jalan ataupun penumpang bus yang tidak mau memberikan uang mereka kepadanya. Tindak kekerasan dan pemaksaan itu merupakan wujud dari tindak kejahatan yang banyak terjadi sekarang ini. Hal ini merupakan fenomena sosial yang tidak mungkin kita pungkiri.
Dari segi kualitas para pelaku kejahatan semakin lihai dalam menghilangkan jejak mereka dan menyembunyikan identitas korbannya. Sebagai contoh pelaku kejahatan pembunuhan dengan melakukan pemotongan pada tubuh korban dengan maksud menghilangkan jejak dan identitas korban. Bukti lain bahwa kejahatan semakin canggih baik dari sudut kualitas pelaku kejahatan maupun sarana yang digunakan, yaitu kejahatan pencurian dengan menggunakan sarana komputer sebagai alat tindak kejahatan. Pelaku kejahatan yang sering disebut sebagai hecker ini dinilai dari sudut kualitas pelaku kejahatan dan sarana yang digunakan untuk melakukan kejahatan sudah dapat dikatakan canggih. Karena hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melakukan tindak kejahatan ini.
Menurut si stem hukum kita, yaitu KUHAP, aktivitas pemeriksaan terhadap suatu kasus pidana melibatkan:
1. Kepolisian, selaku penyidik yang melakukan serangkaian tindakan penyelidikan, penangkapan, penahanan, serta pemeriksaan pendahuluan.
2. Kejaksaan, selaku penuntut umum, dan sebagai penyidik atas tindak pidana khusus yang kemudian melimpahkannya ke Pengadilan.
3. Pengadilan untuk mendapatkan putusan hakim.
Salah satu asas yang penting dalam Hukum Acara Pidana adalah asas praduga tak bersalah yang termuat dalam perumusan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa seseorang yang disangka, ditahan, ditangkap, dituntut di muka pengadilan dianggap tak bersalah hingga pengadilan memutuskan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan bersumber asas praduga tak bersalah ini, meski bukti kuat dalam penyidikan atau pemeriksaan pendahuluan, seorang tersangka tetap tidak dianggap bersalah.
Penyidikan terhadap kejahatan merupakan suatu cara atau prosedur untuk mencari serta memberikan pembuktian-pembuktian dalam menerangkan suatu peristiwa yang terjadi mengenai kejahatan yang dilakukan. Penyidik akan menerima perintah dari atasannya untuk melaksanakan tugas-tugas penyidikan dan pengusutan, mengumpulkan keterangan sehubungan dengan peristiwa tersebut, yang kemudian akan menyerahkan berkas pemeriksaannya terebut ke Kejaksaan untuk diambil tindakan selanjutnya.
Hasil penyidikan akan membuktikan bahwa memang telah terjadi tindak pidana maka langkah selanjutnya adalah menemukan siapa tersangkanya dengan jalan penyidikan secara singkat penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi guna menemukan tersangkanya.
Sifat penyidikan itu sendiri adalah mencari kebenaran materiil yaitu suatu kebenaran menurut fakta yang sebenarnya. Dalam hal ini penulis menggunakan sidik kaki atau bekas telapak kaki sebagai sarana penyidikan guna mengungkapkan suatu tindak pidana. Sidik kaki atau bekas telapak kaki dapat berupa telapak dan lekuk. Telapak adalah gambaran dasar yang biasanya ditinggalkan di atas dasar yang keras. Sedangkan lekuk adalah bekas telapak kaki yang ditinggalkan diatas permukaan yang lunak.
Sidik kaki merupakan salah satu bukti fisik yang mempunyai ciri-ciri yang berbeda antara satu orang dengan yang lain. Ciri-ciri tersebut tidak akan berubah selama hidup. Dalam kenyataannya memang tidak banyak peristiwa pidana yang menjadi terang atau dapat terungkap dengan bantuan pemeriksaan sidik kaki. Kata tidak banyak bukan berarti tidak ada sama sekali tetapi mengandung arti bahwa hanya sedikit peristiwa yang dapat terungkap dengan menggunakan pemeriksaan sidik kaki.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis menganggap penting untuk mengangkat masalah tersebut sebagai bahan penulisan hukum dengan judul: "IMPLEMENTASI WEWENANG KEPOLISIAN UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN PENGAMBILAN SIDIK KAKI DALAM RANGKA PROSES PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN ( STUDI KASUS DI POLWILTABES X )".

B. PERUMUSAN MASALAH
Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan dibahas serta untuk lebih mengarahkan pembahasan maka perumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah implementasi wewenang kepolisian untuk melakukan tindakan pengambilan sidik kaki dalam rangka proses penyidikan perkara tindak pidana pencurian dengan kekerasan di Polwiltabes X ?
2. Apakah hambatan implementasi wewenang kepolisian untuk melakukan tindakan pengambilan sidik kaki dalam dalam rangka proses penyidikan perkara tindak pidana pencurian dengan kekerasan di Polwiltabes X ?

C. TUJUAN PENELITIAN
Dalam suatu penelitian ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. Tujuan ini tidak lepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengertian mengenai sidik kaki.
b. Untuk mengetahui bagaimana prosedur penyidikan.
c. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang ditemui dalam proses pengambilan sidik kaki.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memberikan pengetahuan bagi penyusun tentang seluk beluk pemeriksaan mengenai sidik kaki
b. Untuk menambah , memperluas serta mengembangkan pengetahuan bagi penyusun dalam bidang ilmu hukum khususnya Hukum Acara Pidana dengan harapan dapat bermanfaat di kemudian hari.
c. Untuk memperoleh data dalam rangka penyusunan penulisan hukum sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan di bidang hukum di Fakultas Hukum X.


D. MANFAAT PENELITIAN
Adanya suatu penelitian diharapkan memberi manfaat yang diperoleh terutama bagi bidang ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari peneliti ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian dapat menyumbangkan pemecahan-pemecahan atas permasalahan dari sudut teori.
b. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menambah referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan.
c. Untuk mendalami teori-teori yang telah diperoleh penulis selama menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas X serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat praktis
a. Dapat memberikan data-data informasi mengenai kegunaan sidik kaki dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Polresta X.
b. Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepntingan langsung dengan penelitian ini.
c. Sebagai praktik dan teori penelitian dalam bidang hokum dan juga sebagai praktik dalam pembuatan karya ilmiah dengan suatu metode penelitian ilmiah.

E. METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah suatu tulisan atau karangan mengenai penelitian disebut ilmiah dan dipercaya kebenarannya apabila pokok-pokok pikiran yang dikemukakan disimpulkan melalui prosedur yang sistematis dengan menggunakan pembuktian yang meyakinkan, oleh karena itu dilakukan dengan cara yang obyektif dan telah melalui berbagai tes dan pengujian (Winarno Surachman, 1992 : 26).
Peranan metode penelitian dalam sebuah penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan secara lebih baik dan lengkap.
2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian inter-disipliner.
3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui.
4. Memberikan pedoman mengorganisasikan serta mengintergrasikan pengetahuan mengenai masyarakat (Soerjono Soekanto, 1986 : 7).
"Metode adalah pedoman cara seseorang ilmuwan mempelajari dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi" (Soerjono Soekanto, 1986:6). Maka penulisan skripsi ini bisa disebut sebagai suatu penelitian ilmiah dan dapat dipercaya kebenarannya dengan menggunakan metode yang tepat. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Menurut bidangnya penelitian ini termasuk penelitian hukum yang bersifat empiris atau sosiologis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk melukiskan sesuatu hal di daerah tertentu pada saat tertentu. Sedangkan bila ditinjau dari bidang ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam skripsi ini, pelitian ini merupakan penelitian dibidang hukum yakni merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya ( Soerjono Soekamto , 1986 :118-119 )
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan yang didukung atau dilengkapi dengan penelitian kepustakaan yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga menghasilkan gabungan antara teori dan praktek lapangan. Sifat penelitian yang penulis pergunakan adalah sifat penelitian deskriptif kualitatif. "Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya" (Soerjono Soekanto, 1986:10). Metode penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif merupakan suatu penelitian yang menyelesaikan masalah-masalah yang ada dengan cara pengumpulan data, menyusun, mengklasifikasi, menganalisis dan menginterprestasi data-data kemudian diperoleh suatu hasil.
3. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data-data dalam penelitian, penulis melakukan penelitian dengan mengambil lokasi di unit Penyidikan Polwiltabes X.
4. Jenis Data
Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini tergolong dalam data primer dan data sekunder :
a. Data Primer
Merupakan data yang diambil langsung dari sumber yang menjadi obyek penelitian. Data yang dimaksud adalah data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara dengan bagian penyidil Polwiltabes X.
b. Data Sekunder
Merupakan data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan data orang lain yang sudah tersedia dalam buku-buku atau dokumen yang biasanya disediakan di perpustakaan atau milik pribadi penulis. Dalam hal ini adalah bahan pustaka yang berkaitan dengan hukum khususnya tentang pemeriksaan sidik kaki.
5. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh langsung di lokasi penelitian yaitu hasil dari wawancara dengan penyidik dari polwiltabes X yaitu IPDA X dan AIPDA X.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1) Bahan Hukum Primer, yaitu semua bahan atau materi hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis, meliputi Peraturan Perundang-undangan dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.
Dalam penelitian ini data sekunder berupa bahan-bahan kepustakaan meliputi:
a. Buku-buku ilmiah di bidang hukum.
b. Makalah dan hasil-hasil karya ilmiah dari para sarjana.
c. Literatur dan hasil penelitian.
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu semua bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, meliputi kamus, ensiklopedia dan sebagainya.
6. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam suatu penelitian sangat diperlukan, karena dengan adanya data dapat menunjang penulisan sebagai bahan dalam penulisan itu sendiri.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara (interview)
Merupakan. penelitian yang digunakan secara langsung terhadap obyek yang diteliti dalam rangka memperoleh data primer dengan wawancara (interview). Wawancara ini dilakukan dengan mengadakan tanya jawab secara langsung baik lisan maupun tulisan dengan responden yakni wawancara langsung dengan anggota unit Penyidikan Polwiltabes X yaitu dengan IPDA X dan AIPDA X. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara yang terarah, terpimpin dan mendalam sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti guna memperoleh hasil berupa data dan informasi yang lengkap.
b. Studi Dokumen
Merupakan pengumpulan data untuk memperoleh keterangan dan data yang diperlukan sebagai landasan berfikir dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku literatur, perundang-undangan serta segala yang berkaitan dengan penelitian ini.
7. Teknik Penentuan Sampel
Populasi atau universe adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau kejadian atau seluruh unit yang menjadi objek penelitian. Populasi yang menjadi objek penelitian ini adalah Kepolisian Wilayah Kota Besar X khususnya unit Pelayanan Penyidikan.
8. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan tahap selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi satu laporan. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong, 2001 : 103).
Penulis menggunakan proses analisis kualitatif dengan model interaktif dalam penelitian ini, yaitu proses analisis dengan menggunakan 3 (tiga) komponen yang terdiri dari reduksi data sajian data dan kemudian penarikan kesimpulan yang aktivitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus antara tahap-tahap tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan skema analisis interaktif sebagai berikut:
Kegiatan komponen itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian kepada penyerdehanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis di kepustakaan. Reduksi tersebut berlangsung terus menerus bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sampai sesudah penelitian dan laporan akhir lengkap tersusun.
b. Penyajian Data
Merupakan sekumpulan informasi tersusun yang member! kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
c. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi
Pada saat pengumpulan data seorang penganalisis mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat dan proporsi. Kesimpulan-kesimpulan tetap akan ditangani dengan longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula-mula belum jelas, meningkat menjadi lebih rinci dan mengarah pada pokok. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi itu mungkin sesingkat pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran penulis selama ia menulis, suatu tinjauan ulang pada catatan-catatan, atau mungkin menjadi seksama dan makan tenaga dengan peninjauan kembali (Matthew B. Miles dan Michael Huberman, 1992 : 19).
Peneliti harus bergerak diantara keempat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik diantara kegiatan reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan atau verifikasi selama sisa waktu penelitiannya. Aktivitas yang dilakukan dengan proses itu komponen-komponen tersebut akan didapat yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan jalan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan data yang diperoleh. Setelah semua data dikumpulkan, kemudian direduksi yang berupa klasifikasi dan seleksi. Kemudian kita ambil kesimpulan dan langkah tersebut tidak harus urut tetapi berhubungan terus sehingga membuat siklus (H. B Sutopo, 2002 : 113).

F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM
Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan, menganalisa serta menjabarkan isi dari penulisan hukum ini, maka penulis menyusun sistematika penilisan hukum dengan membagi bab-bab, sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis memberikan gambaran penulisan hukum mengenai latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang tinjauan umum tentang Penyidikan Perkara Pidana, tinjauan umum tentang sidik kaki.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan menjawab dan membahas permasalahan yang ingin diungkapkan sebelumnya yang meliputi Pengertian Sidik Kaki, Prosedur dalam Penyidikan. Hambatan-hambatan yang ditemui dalam proses penyidikan.
BAB IV : SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi simpulan dan saran berdasarkan analisa dari data yang diperoleh selama penelitian sebagai jawaban terhadap permasalahan bagi para pihak yang terkait agar dapat menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan untuk menuju perbaikan sehingga bermanfaat bagi semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Berisi berbagai sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan hukum ini.
LAMPIRAN
read more...