Minggu, 25 Januari 2009

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SIROSIS HEPATIS

Kumpulan Asuhan Keperawatan
Kumpulan Askep
Asuhan Keperawatan
Askep


SIROSIS HEPATIS

1. Pengertian

Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).

2. Etiologi

Ada 3 tipe sirosis hepatis :

  • Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
  • Sirosis pasca nekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
  • Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).


  • 3. Patofisiologi

    Minuman yang mengandung alkohol dianggap sebagai factor utama terjadinya sirosis hepatis. Selain pada peminum alkohol, penurunan asupan protein juga dapat menimbulkan kerusakan pada hati, Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan pada individu yang dietnya normal tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
    Faktor lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi skistosomiastis dua kali lebih banyak daripada wanita dan mayoritas pasien sirosis berusia 40 � 60 tahun.
    Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-sel hati yang dihancurkan itu secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut yang melampaui jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjal dari bagian-bagian yang berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas.


    4. Tanda dan Gejala

    Penyakit sirosis hepatis mempunyai gejala seperti ikterus dan febris yang intermiten. Adanya pembesaran pada hati. Pada awal perjalanan sirosis hepatis ini, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler). Obstruksi Portal dan Asites. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.
    Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh. Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral.
    Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.


    5. Pemeriksaan penunjang
    • Pemeriksaan Laboratorium
      1. Pada Darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer / hipokrom makrositer, anemia dapat dari akibat hipersplemisme dengan leukopenia dan trombositopenia, kolesterol darah yang selalu rendah mempunyai prognosis yang kurang baik.
      2. Kenaikan kadar enzim transaminase - SGOT, SGPT bukan merupakan petunjuk berat ringannya kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran dari sel yang rusak, pemeriksaan bilirubin, transaminase dan gamma GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.
      3. Albumin akan merendah karena kemampuan sel hati yang berkurang, dan juga globulin yang naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress.
      4. Pemeriksaan CHE (kolinesterase). Ini penting karena bila kadar CHE turun, kemampuan sel hati turun, tapi bila CHE normal / tambah turun akan menunjukan prognasis jelek.
      5. Kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretic dan pembatasan garam dalam diet, bila ensefalopati, kadar Na turun dari 4 meg/L menunjukan kemungkinan telah terjadi sindrom hepatorenal.
      6. Pemanjangan masa protrombin merupakan petunjuk adanya penurunan fungsi hati. Pemberian vit K baik untuk menilai kemungkinan perdarahan baik dari varises esophagus, gusi maupun epistaksis.
      7. Peningggian kadar gula darah. Hati tidak mampu membentuk glikogen, bila terus meninggi prognosis jelek.
      8. Pemeriksaan marker serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg/ HbcAb, HBV DNA, HCV RNA., untuk menentukan etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP (alfa feto protein) penting dalam menentukan apakah telah terjadi transpormasi kearah keganasan.


    ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS

    1. Pengkajian
      • Riwayat Kesehatan Sekarang
      • Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluahan utama pasien, sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.
      • Riwayat Kesehatan Sebelumnya
        Apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit hati, sehingga menyebabkan penyakit Sirosis hepatis. Apakah pernah sebagai pengguna alkohol dalam jangka waktu yang lama disamping asupan makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani pasien.
      • Riwayat Kesehatan Keluarga
        Adakah penyakit-penyakit yang dalam keluarga sehingga membawa dampak berat pada keadaan atau yang menyebabkan Sirosis hepatis, seperti keadaan sakit DM, hipertensi, ginjal yang ada dalam keluarga. Hal ini penting dilakukan bila ada gejala-gejala yang memang bawaan dari keluarga pasien.
      • Riwayat Tumbuh Kembang
        Kelainan-kelainan fisik atau kematangan dari perkembangan dan pertumbuhan seseorang yang dapat mempengaruhi keadaan penyakit, seperti ada riwayat pernah icterus saat lahir yang lama, atau lahir premature, kelengkapan imunisasi, pada form yang tersedia tidak terdapat isian yang berkaitan dengan riwayat tumbuh kembang.
      • Riwayat Sosial Ekonomi
        Apakah pasien suka berkumpul dengan orang-orang sekitar yang pernah mengalami penyakit hepatitis, berkumpul dengan orang-orang yang dampaknya mempengaruhi perilaku pasien yaitu peminum alcohol, karena keadaan lingkungan sekitar yang tidak sehat.
      • Riwayat Psikologi
        Bagaimana pasien menghadapi penyakitnya saat ini apakah pasien dapat menerima, ada tekanan psikologis berhubungan dengan sakitnya. Kita kaji tingkah laku dan kepribadian, karena pada pasien dengan sirosis hepatis dimungkinkan terjadi perubahan tingkah laku dan kepribadian, emosi labil, menarik diri, dan depresi. Fatique dan letargi dapat muncul akibat perasaan pasien akan sakitnya. Dapat juga terjadi gangguan body image akibat dari edema, gangguan integument, dan terpasangnya alat-alat invasive (seperti infuse, kateter). Terjadinya perubahan gaya hidup, perubaha peran dan tanggungjawab keluarga, dan perubahan status financial (Lewis, Heitkemper, & Dirksen, 2000).
      • Pemeriksaan Fisik
        • Kesadaran dan keadaan umum pasien
          Perlu dikaji tingkat kesadaran pasien dari sadar - tidak sadar (composmentis - coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien, kekacuan fungsi dari hepar salah satunya membawa dampak yang tidak langsung terhadap penurunan kesadaran, salah satunya dengan adanya anemia menyebabkan pasokan O2 ke jaringan kurang termasuk pada otak.
        • Tanda - tanda vital dan pemeriksaan fisik Kepala - kaki
          TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan umum pasien / kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dan lebih focus pada pemeriksaan organ seperti hati, abdomen, limpa dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi), disamping itu juga penimbangan BB dan pengukuran tinggi badan dan LLA untuk mengetahui adanya penambahan BB karena retreksi cairan dalam tubuh disamping juga untuk menentukan tingakat gangguan nutrisi yanag terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan Nutrisi yang dibutuhkan.
          1. Hati : perkiraan besar hati, bila ditemukan hati membesar tanda awal adanya cirosis hepatis, tapi bila hati mengecil prognosis kurang baik, konsistensi biasanya kenyal / firm, pinggir hati tumpul dan ada nyeri tekan pada perabaan hati. Sedangkan pada pasien Tn.MS ditemukan adanya pembesaran walaupun minimal (USG hepar). Dan menunjukkan sirosis hati dengan hipertensi portal.
          2. Limpa: ada pembesaran limpa, dapat diukur dengan 2 cara :
            -Schuffner, hati membesar ke medial dan ke bawah menuju umbilicus (S-I-IV) dan dari umbilicus ke SIAS kanan (S V-VIII)
            -Hacket, bila limpa membesar ke arah bawah saja.
          3. Pada abdomen dan ekstra abdomen dapat diperhatikan adanya vena kolateral dan acites, manifestasi diluar perut: perhatikan adanya spinder nevi pada tubuh bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang, caput medussae dan tubuh bagian bawah, perlunya diperhatikan adanya eritema palmaris, ginekomastia dan atropi testis pada pria, bias juga ditemukan hemoroid.


    2. Masalah Keperawatan yang Muncul
      1. Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
      2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
      3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema.


    3. Intervensi
      Diagnosa Keperawatan 1. :
      Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat (anoreksia, nausea, vomitus)
      Tujuan : Status nutrisi baik
      Intervensi :
      • Kaji intake diet, Ukur pemasukan diit, timbang BB tiap minggu.
        Rasional: Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet. Kondisi fisik umum, gejala uremik (mual, muntah, anoreksia, dan ganggguan rasa) dan pembatasan diet dapat mempengaruhi intake makanan, setiap kebutuhan nutrisi diperhitungan dengan tepat agar kebutuhan sesuai dengan kondisi pasien, BB ditimbang untuk mengetahui penambahan dan penuruanan BB secara periodik.
      • Berikan makanan sedikit dan sering sesuai dengan diet.
        Rasional: Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremik.
      • Tawarkan perawatan mulut (berkumur/gosok gigi) dengan larutan asetat 25 % sebelum makan. Berikan permen karet, penyegar mulut diantara makan.
        Rasional: Membran mukosa menjadi kering dan pecah. Perawatan mulut menyejukkan, dan membantu menyegarkan rasa mulut, yang sering tidak nyaman pada uremia dan pembatasan oral. Pencucian dengan asam asetat membantu menetralkan ammonia yang dibentuk oleh perubahan urea (Black, & Hawk, 2005).
      • Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan kultural.
        Rasional: Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, maka dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
      • Motivasi pasien untuk menghabiskan diet, anjurkan makan-makanan lunak.
        Rasional: Membantu proses pencernaan dan mudah dalam penyerapan makanan, karena pasien mengalami gangguan sistem pencernaan.
      • Berikan bahan penganti garam pengganti garam yang tidak mengandung amonium.
        Rasional: Garam dapat meningkatkan tingkat absorsi dan retensi cairan, sehingga perlu mencari alternatif penganti garam yang tepat.
      • Berikan diet 1700 kkal (sesuai terapi) dengan tinggi serat dan tinggi karbohidrat.
        Rasional: Pengendalian asupan kalori total untuk mencapai dan mempertahankan berat badan sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah
      • Berikan obat sesuai dengan indikasi : Tambahan vitamin, thiamin, besi, asam folat dan Enzim pencernaan.
        Rasional: Hati yang rusak tidak dapat menyimpan Vitamin A, B kompleks, D dan K, juga terjadi kekurangan besi dan asam folat yang menimbulkan anemia. Dan Meningkatkan pencernaan lemak dan dapat menurunkan diare.
      • Kolaborasi pemberian antiemetik
        Rasional: untuk menghilangkan mual / muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral.


      Diagnosa Keperawatan 2. :
      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
      Tujuan : Peningkatan energi dan partisipasi dalam aktivitas.
      Intervensi :
      • Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
        Rasional : Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.
      • Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)
        Rasional : Memberikan nutrien tambahan.
      • Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat
        Rasional : Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.
      • Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap.
        Rasional : Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri.


      Diagnosa Keperawatan 3. :
      Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema.
      Tujuan : Integritas kulit baik
      Intervensi :
      • Batasi natrium seperti yang diresepkan.
        Rasional : Meminimalkan pembentukan edema.
      • Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
        Rasional : Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
      • Ubah posisi tidur pasien dengan sering.
        Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.
      • Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
        Rasional : Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.
      • Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus.
        Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema.
      • Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya.
        Rasional : Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar.
    Sumber : http://kumpulan-asuhan-keperawatan.blogspot.com/2009/01/asuhan-keperawatan-pada-pasien-dengan_6374.html

    DAFTAR PUSTAKA

    Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
    Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (1999). Rencana asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
    Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.
    Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.
    Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.
    Alexander, Fawcett, Runciman. (2000). Nursing Practice Hospital and Home the Adult, Second edition, Toronto. Churchill Livingstone.

    Kumpulan asuhan Keperawatan
    Kumpulan askep
    Asuhan Keperawatan
    Askep




    Download Askep Sirosis Hepatis Gratis :

    read more...

    Selasa, 20 Januari 2009

    ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TYPHOID

    Kumpulan Asuhan keperawatan

    Kumpulan Askep

    Asuhan Keperawatan

    Askep






    TYPHOID



    A. Pengertian



    Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Sudart, 1994 ).

    Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis. (Syaifullah Noer, 1996).

    Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara pecal, oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer Orief.M. 1999).





    B. Etiologi



    Etiologi typhoid adalah salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C. ada dua sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.





    C. Patofisiologi



    Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan / kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses.

    Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dimakan oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.





    D. Tanda dan Gejala



    Masa tunas typhoid 10 - 14 hari

    1. Minggu I

      Pada umumnya demam berangsur naik, terutama sore hari dan malam hari. Dengan keluhan dan gejala demam, nyeri otot, nyeri kepala, anorexia dan mual, batuk, epitaksis, obstipasi / diare, perasaan tidak enak di perut.

    2. Minggu II

      Pada minggu II gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi, lidah yang khas (putih, kotor, pinggirnya hiperemi), hepatomegali, meteorismus, penurunan kesadaran.


    E. Pemeriksaan Penunjang



    Pemeriksaan Laboratorium :

    1. Uji Widal

      Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :

      • Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).

      • Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).

      • Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman).

        Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.



    2. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT

      SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.



    F. Penatalaksanaan


    1. Perawatan

      • Pasien diistirahatkan 7 hari sampai demam turun atau 14 hari untuk mencegah komplikasi perdarahan usus.

      • Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila ada komplikasi perdarahan.



    2. Diet

      • Diet yang sesuai, cukup kalori dan tinggi protein.

      • Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.

      • Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.

      • Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.


    3. Pengobatan

      1. Klorampenikol

      2. Tiampenikol

      3. Kotrimoxazol

      4. Amoxilin dan ampicillin








    ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TYPHOID



    A. Pengkajian

    1. Riwayat Kesehatan Sekarang

      Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluahan utama pasien, sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.

    2. Riwayat Kesehatan Sebelumnya

      Apakah sudah pernah sakit dan dirawat dengan penyakit yang sama.

    3. Riwayat Kesehatan Keluarga

      Apakah ada dalam keluarga pasien yang sakit seperti pasien.

    4. Riwayat Psikososial

      Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas / sedih)

      Interpersonal : hubungan dengan orang lain.

    5. Pola Fungsi kesehatan

      Pola nutrisi dan metabolisme :

    6. Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada usus halus.

      Pola istirahat dan tidur

    7. Selama sakit pasien merasa tidak dapat istirahat karena pasien merasakan sakit pada perutnya, mual, muntah, kadang diare.

    8. Pemeriksaan Fisik

      • Kesadaran dan keadaan umum pasien

        Kesadaran pasien perlu di kaji dari sadar - tidak sadar (composmentis - coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien.

      • Tanda - tanda vital dan pemeriksaan fisik Kepala - kaki

        TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan umum pasien / kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi), disamping itu juga penimbangan BB untuk mengetahui adanya penurunan BB karena peningakatan gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan.


    B. Masalah Keperawatan yang Muncul

    1. Peningkatan suhu tubuh b.d proses infeksi salmonella thypi.

    2. Resiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.

    3. Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang informasi.


    C. Intervensi



    Diagnosa Keperwatan 1. :

    Peningkatan suhu tubuh b.d proses infeksi salmonella thypi.

    Tujuan : Suhu tubuh normal

    Intervensi :

    • Observasi suhu tubuh klien

      Rasional : mengetahui perubahan suhu tubuh.

    • Beri kompres dengan air hangat (air biasa) pada daerah axila, lipat paha, temporal bila terjadi panas

      Rasional : melancarkan aliran darah dalam pembuluh darah.

    • Anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti katun

      Rasional : menjaga kebersihan badan

    • Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti piretik

      Rasional : menurunkan panas dengan obat.


    Diagnosa Keperawatan 2. :

    Resiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat

    Tujuan : Nutrisi kebutuhan tubuh terpenuhi

    Intervensi :

    • Kaji pola nutrisi klien

      Rasional : mengetahui pola makan, kebiasaan makan, keteraturan waktu makan.

    • Kaji makan yang di sukai dan tidak disukai

      Rasional : meningkatkan status makanan yang disukai dan menghindari pemberian makan yang tidak disukai.

    • Anjurkan tirah baring / pembatasan aktivitas selama fase akut

      Rasional : penghematan tenaga, mengurangi kerja tubuh.

    • Timbang berat badan tiap hari

      Rasional : mengetahui adanya penurunan atau kenaikan berat badan.

    • Anjurkan klien makan sedikit tapi sering

      Rasional : mengurangi kerja usus, menghindari kebosanan makan.

    • Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet

      Rasional : mengetahui makanan apa saja yang dianjurkan dan makanan yang tidak boleh dikonsumsi.


    Diagnosa Keperawatan 3. :

    Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang informasi

    Tujuan : Pengetahuan keluarga meningkat

    Intervensi :

    • Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya

      Rasional : mengetahui apa yang diketahui pasien tentang penyakitnya.

    • Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan pasien

      Rasional : supaya pasien tahu tata laksana penyakit, perawatan dan pencegahan penyakit typhoid.

    • Beri kesempatan pasien dan keluaga pasien untuk bertanya bila ada yang belum dimengerti

      Rasional : mengetahui sejauh mana pengetahuan pasien dan keluarga pasien setelah di beri penjelasan tantang penyakitnya.

    • Beri reinforcement positif jika klien menjawab dengan tepat

      Rasional : memberikan rasa percaya diri pasien dalam kesembuhan sakitnya.




    Kumpulan Asuhan Keperawatan

    Kumpulan Askep

    Asuhan Keperawatan

    Askep

    Sumber : http://kumpulan-asuhan-keperawatan.blogspot.com/2009/01/asuhan-keperawatan-pada-pasien-dengan_25.html

    Download Askep Typhoid Gratis :



    Nursing Assessment

    Nanda Nursing Diagnosis

    Nursing Interventions
    read more...

    Selasa, 13 Januari 2009

    ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DIARE

    Diare

    A. Pengertian


    Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja yang lebih banyak dari biasanya (normal 100-200 cc/jam tinja). Dengan tinja berbentuk cair /setengah padat, dapat disertai frekuensi yang meningkat. Menurut WHO (1980), diare adalah buang air besar encer lebih dari 3 x sehari. Diare terbagi 2 berdasarkan mula dan lamanya, yaitu diare akut dan kronis (Mansjoer, A.1999, 501).



    B. Penyebab

    Menurut Ngastiyah (1997), penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor yaitu:
    1. Faktor infeksi
      • Infeksi enteral
        Merupakan penyebab utama diare pada anak, yang meliputi: infeksi bakteri, infeksi virus (enteovirus, polimyelitis, virus echo coxsackie). Adeno virus, rota virus, astrovirus, dll) dan infeksi parasit : cacing (ascaris, trichuris, oxyuris, strongxloides) protozoa (entamoeba histolytica, giardia lamblia, trichomonas homunis) jamur (canida albicous).
      • Infeksi parenteral
      • adalah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti otitis media akut (OMA) tonsilitis/tonsilofaringits, bronkopeneumonia, ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah dua (2) tahun.
    2. Faktor malabsorbsi
    3. Malabsorbsi karbohidrat, lemak dan protein.
    4. Faktor makanan
    5. Makanan basi, beracun, terlalu banyak lemak, sayuran dimasak kurang matang.
    6. Faktor psikologis
    7. Rasa takut, cemas
    Menurut Haroen N.S, Suraatmaja dan P.O Asnil (1998), ditinjau dari sudut patofisiologi, penyebab diare akut dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:
    1. Diare sekresi (secretory diarrhoe), disebabkan oleh:
      • Infeksi virus, kuman-kuman patogen dan apatogen seperti shigella, salmonela, E. Coli, golongan vibrio, B. Cereus, clostridium perfarings, stapylococus aureus, comperastaltik usus halus yang disebabkan bahan-bahan kimia makanan (misalnya keracunan makanan, makanan yang pedas, terlalau asam), gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf, hawa dingin, alergi dan sebagainya.
      • Defisiensi imum terutama SIGA (secretory imonol bulin A) yang mengakibatkan terjadinya berlipat gandanya bakteri/flata usus dan jamur terutama canalida.
    2. Diare osmotik (osmotik diarrhoea), disebabkan oleh:
      • Malabsorpsi makanan: karbohidrat, lemak (LCT), protein, vitamin dan mineral.
      • Kurang kalori protein.
      • Bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir.

    C. Patofisiologi

    Penyebab diare yang utama adalah gangguan osmotik, akibat adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap oleh usus akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
    Diare juga terjadi akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan kemudian diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
    Diare dapat juga terjadi akibat masuknya mikroorganisme hidup ke dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung, mikroorganisme tersebut berkembang biak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
    Gangguan motalitas usus juga mengakibatkan diare, terjadinya hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri timbul berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.


    D. Tanda dan Gejala
    1. Anak sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer.
    2. Anak cengeng, gelisah, suhu tubuh mungkin meningkat, nafsu makan berkurang.
    3. Warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena bercampur empedu.
    4. Daerah sekitar anus kemerahan dan lecet karena seringnya difekasi dan tinja menjadi lebih asam akibat banyaknya asam laktat.
    5. Ada tanda dan gejala dehidrasi, turgor kulit jelas (elistitas kulit menurun), ubun-ubun dan mata cekung membran mukosa kering dan disertai penurunan berat badan.
    6. Perubahan tanda-tanda vital, nadi dan respirasi cepat tekan darah turun, denyut jantung cepat, pasien sangat lemas hingga menyebabkan kesadaran menurun.
    7. Diuresis berkurang (oliguria sampai anuria).

    E. Pemeriksaan Penunjang
    1. Pemeriksaan tinja
      • Makroskopis dan mikroskopis
      • PH dan kadar gula dalam tinja
      • Bila perlu diadakan uji bakteri
    2. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, dengan menentukan PH dan cadangan alkali dan analisa gas darah.
    3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
    4. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar Na, K, Kalsium dan Posfat.

    F. Penatalaksanaan
    1. Pemberian cairan, jenis cairan, cara memberikan cairan, jumlah pemberiannya.
      • Cairan per oral
      • Pada klien dengan dehidrasi ringan dan sedang diberikan peroral berupa cairan yang bersifat NaCl dan NaHCO3 dan glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada anak diatas 6 bulan kadar Natrium 90 mEg/l. Pada anak dibawah umur 6 bulan dengan dehidrasi ringan-sedang kadar natrium 50-60 mEg/l. Formula lengkap disebut oralit, sedangkan larutan gula garam dan tajin disebut formula yang tidak lengkap karena banyak mengandung NaCl dan sukrosa.
      • Cairan parentral
      • Diberikan pada klien yang mengalami dehidrasi berat, dengan rincian sebagai berikut:
        • Untuk anak umur 1 bl-2 tahun berat badan 3-10 kg
          • 1 jam pertama : 40 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infus set berukuran 1 ml=15 tts atau 13 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).
          • 7 jam berikutnya : 12 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infusset berukuran 1 ml=15 tts atau 4 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).
          • 16 jam berikutnya : 125 ml/kgBB/ oralit
        • Untuk anak lebih dari 2-5 tahun dengan berat badan 10-15 kg
          • 1 jam pertama : 30 ml/kgBB/jam atau 8 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 10 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
        • Untuk anak lebih dari 5-10 tahun dengan berat badan 15-25 kg
          • 1 jam pertama : 20 ml/kgBB/jam atau 5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 7 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
          • 7 jam berikut : 10 ml/kgBB/jam atau 2,5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 3 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
          • 16 jam berikut : 105 ml/kgBB oralit per oral.
        • Untuk bayi baru lahir dengan berat badan 2-3 kg
          • Kebutuhan cairan: 125 ml + 100 ml + 25 ml = 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian glukosa 5% + 1 bagian NaHCO3 1� %.
          • Kecepatan : 4 jam pertama : 25 ml/kgBB/jam atau 6 tts/kgBB/menit (1 ml = 15 tts) 8 tts/kg/BB/mt (1mt=20 tts).
          • Untuk bayi berat badan lahir rendah
          • Kebutuhan cairan: 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian glukosa 10% + 1 bagian NaHCO3 1� %).
    2. Pengobatan dietetik
    3. Untuk anak dibawah 1 tahun dan anak diatas 1 tahun dengan berat badan kurang dari 7 kg, jenis makanan:
      • Susu (ASI, susu formula yang mengandung laktosa rendah dan lemak tak jenuh.
      • Makanan setengah padat (bubur atau makanan padat (nasi tim).
      • Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan misalnya susu yang tidak mengandung laktosa dan asam lemak yang berantai sedang atau tak jenuh.
    4. Obat-obatan
    5. Prinsip pengobatan menggantikan cairan yang hilang dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain.

    Sumber : http://kumpulan-asuhan-keperawatan.blogspot.com/2008/12/asuhan-keperawatan-anak-dengan-diare.html

    Asuhan Keperawatan Anak dengan Diare


    Pengkajian
    1. Identitas
    2. Perlu diperhatikan adalah usia. Episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insiden paling tinggi adalah golongan umur 6-11 bulan. Kebanyakan kuman usus merangsang kekebalan terhadap infeksi, hal ini membantu menjelaskan penurunan insidence penyakit pada anak yang lebih besar. Pada umur 2 tahun atau lebih imunitas aktif mulai terbentuk. Kebanyakan kasus karena infeksi usus asimptomatik dan kuman enteric menyebar terutama klien tidak menyadari adanya infeksi. Status ekonomi juga berpengaruh terutama dilihat dari pola makan dan perawatannya .
    3. Keluhan Utama
    4. BAB lebih dari 3 x
    5. Riwayat Penyakit Sekarang
    6. BAB warna kuning kehijauan, bercamour lendir dan darah atau lendir saja. Konsistensi encer, frekuensi lebih dari 3 kali, waktu pengeluaran : 3-5 hari (diare akut), lebih dari 7 hari ( diare berkepanjangan), lebih dari 14 hari (diare kronis).
    7. Riwayat Penyakit Dahulu
    8. Pernah mengalami diare sebelumnya, pemakian antibiotik atau kortikosteroid jangka panjang (perubahan candida albicans dari saprofit menjadi parasit), alergi makanan, ISPA, ISK, OMA campak.
    9. Riwayat Nutrisi
    10. Pada anak usia toddler makanan yang diberikan seperti pada orang dewasa, porsi yang diberikan 3 kali setiap hari dengan tambahan buah dan susu. kekurangan gizi pada anak usia toddler sangat rentan,. Cara pengelolahan makanan yang baik, menjaga kebersihan dan sanitasi makanan, kebiasan cuci tangan,
    11. Riwayat Kesehatan Keluarga
    12. Ada salah satu keluarga yang mengalami diare.
    13. Riwayat Kesehatan Lingkungan
    14. Penyimpanan makanan pada suhu kamar, kurang menjaga kebersihan, lingkungan tempat tinggal.
    15. Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
      • Pertumbuhan
        • Kenaikan BB karena umur 1 �3 tahun berkisar antara 1,5-2,5 kg (rata-rata 2 kg), PB 6-10 cm (rata-rata 8 cm) pertahun.
        • Kenaikan linkar kepala : 12cm ditahun pertama dan 2 cm ditahun kedua dan seterusnya.
        • Tumbuh gigi 8 buah : tambahan gigi susu; geraham pertama dan gigi taring, seluruhnya berjumlah 14 � 16 buah.
        • Erupsi gigi : geraham perama menusul gigi taring.
      • Perkembangan
        • Tahap perkembangan Psikoseksual menurut Sigmund Freud.
        • Fase anal :
          Pengeluaran tinja menjadi sumber kepuasan libido, meulai menunjukan keakuannya, cinta diri sendiri/ egoistic, mulai kenal dengan tubuhnya, tugas utamanyan adalah latihan kebersihan, perkembangan bicra dan bahasa (meniru dan mengulang kata sederhana, hubungna interpersonal, bermain).
        • Tahap perkembangan psikososial menurut Erik Erikson.
        • Autonomy vs Shame and doundt
          Perkembangn ketrampilan motorik dan bahasa dipelajari anak toddler dari lingkungan dan keuntungan yang ia peroleh Dario kemam puannya untuk mandiri (tak tergantug). Melalui dorongan orang tua untuk makan, berpakaian, BAB sendiri, jika orang tua terlalu over protektif menuntut harapan yanag terlalu tinggi maka anak akan merasa malu dan ragu-ragu seperti juga halnya perasaan tidak mampu yang dapat berkembang pada diri anak.
        • Gerakan kasar dan halus, bacara, bahasa dan kecerdasan, bergaul dan mandiri : Umur 2-3 tahun :
          1. Berdiri dengan satu kaki tanpa berpegangan sedikitpun 2 hitungan (GK).
          2. Meniru membuat garis lurus (GH).
          3. Menyatakan keinginan sedikitnya dengan dua kata (BBK).
          4. Melepasa pakaian sendiri (BM).
    16. Pemeriksaan Fisik
      • Pengukuran panjang badan, berat badan menurun, lingkar lengan mengecil, lingkar kepala, lingkar abdomen membesar.
      • Keadaan umum : klien lemah, gelisah, rewel, lesu, kesadaran menurun.
      • Kepala : ubun-ubun tak teraba cekung karena sudah menutup pada anak umur 1 tahun lebih.
      • Mata : cekung, kering, sangat cekung.
      • Sistem pencernaan : mukosa mulut kering, distensi abdomen, peristaltic meningkat > 35 x/mnt, nafsu makan menurun, mual muntah, minum normal atau tidak haus, minum lahap dan kelihatan haus, minum sedikit atau kelihatan bisa minum.
      • Sistem Pernafasan : dispnea, pernafasan cepat > 40 x/mnt karena asidosis metabolic (kontraksi otot pernafasan).
      • Sistem kardiovaskuler : nadi cepat > 120 x/mnt dan lemah, tensi menurun pada diare sedang .
      • Sistem integumen : warna kulit pucat, turgor menurun > 2 dt, suhu meningkat > 375 0 c, akral hangat, akral dingin (waspada syok), capillary refill time memajang > 2 dt, kemerahan pada daerah perianal.
      • Sistem perkemihan : urin produksi oliguria sampai anuria (200-400 ml/ 24 jam ), frekuensi berkurang dari sebelum sakit.
      • Dampak hospitalisasi : semua anak sakit yang MRS bisa mengalami stress yang berupa perpisahan, kehilangan waktu bermain, terhadap tindakan invasive respon yang ditunjukan adalah protes, putus asa, dan kemudian menerima.

    Diagnosa Keperawatan
    1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan diare atau output berlebihan dan intake yang kurang.
    2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan skunder terhadap diare.
    3. Resiko peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi skunder terhadap diare.
    4. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan frekwensi diare.
    5. Resiko tinggi gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan BB menurun terus menerus.
    6. Kecemasan anak berhubungan dengan tindakan invasive.

    Intervensi
    Diagnosa 1.:
    Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan skunder terhadap diare

    Tujuan :
    Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam keseimbangan dan elektrolit dipertahankan secara maksimal

    Kriteria hasil :
    • Tanda vital dalam batas normal (N: 120-60 x/mnt, S; 36-37,50 c, RR : <>
    • Turgor elastik , membran mukosa bibir basah, mata tidak cowong, UUB tidak cekung.
    • Konsistensi BAB lembek, frekwensi 1 kali perhari.
    Intervensi :
    • Pantau tanda dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit
    • R/ Penurunan sisrkulasi volume cairan menyebabkan kekeringan mukosa dan pemekataj urin. Deteksi dini memungkinkan terapi pergantian cairan segera untuk memperbaiki defisit
    • Pantau intake dan output
    • R/ Dehidrasi dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus membuat keluaran tak aadekuat untuk membersihkan sisa metabolisme.
    • Timbang berat badan setiap hari
    • R/ Mendeteksi kehilangan cairan , penurunan 1 kg BB sama dengan kehilangan cairan 1 lt
    • Anjurkan keluarga untuk memberi minum banyak pada kien, 2-3 lt/hr
    • R/ Mengganti cairan dan elektrolit yang hilang secara oral
    • Kolaborasi :
      • Pemeriksaan laboratorium serum elektrolit (Na, K,Ca, BUN)
      • R/ koreksi keseimbang cairan dan elektrolit, BUN untuk mengetahui faal ginjal (kompensasi).
      • Cairan parenteral ( IV line ) sesuai dengan umur
      • R/ Mengganti cairan dan elektrolit secara adekuat dan cepat.
      • Obat-obatan : (antisekresin, antispasmolitik, antibiotik)
      • R/ anti sekresi untuk menurunkan sekresi cairan dan elektrolit agar simbang, antispasmolitik untuk proses absorbsi normal, antibiotik sebagai anti bakteri berspektrum luas untuk menghambat endotoksin.
    Diagnosa 2.:
    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak adekuatnya intake dan out put

    Tujuan :
    Setelah dilakukan tindakan perawatan selama dirumah di RS kebutuhan nutrisi terpenuhi

    Kriteria hasil :
    • Nafsu makan meningkat
    • BB meningkat atau normal sesuai umur
    Intervensi :
    • Diskusikan dan jelaskan tentang pembatasan diet (makanan berserat tinggi, berlemak dan air terlalu panas atau dingin).
    • R/ Serat tinggi, lemak,air terlalu panas / dingin dapat merangsang mengiritasi lambung dan sluran usus.
    • Ciptakan lingkungan yang bersih, jauh dari bau yang tak sedap atau sampah, sajikan makanan dalam keadaan hangat.
    • R/ situasi yang nyaman, rileks akan merangsang nafsu makan.
    • Berikan jam istirahat (tidur) serta kurangi kegiatan yang berlebihan.
    • R/ Mengurangi pemakaian energi yang berlebihan
    • Monitor intake dan out put dalam 24 jam.
    • R/ Mengetahui jumlah output dapat merencenakan jumlah makanan.
    • Kolaborasi dengan tim kesehtaan lain :
      • terapi gizi : Diet TKTP rendah serat, susu.
      • obat-obatan atau vitamin ( A)
      • R/ Mengandung zat yang diperlukan , untuk proses pertumbuhan
    Diagnosa 3. :
    Resiko peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi dampak sekunder dari diare

    Tujuan :
    Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3x 24 jam tidak terjadi peningkatan suhu tubuh

    Kriteria hasil :
    • Suhu tubuh dalam batas normal ( 36-37,5 C)
    • Tidak terdapat tanda infeksi (rubur, dolor, kalor, tumor, fungtio leasa)
    Intervensi :
    • Monitor suhu tubuh setiap 2 jam
    • R/ Deteksi dini terjadinya perubahan abnormal fungsi tubuh ( adanya infeksi)
    • Berikan kompres hangat
    • R/ merangsang pusat pengatur panas untuk menurunkan produksi panas tubuh
    • Kolaborasi pemberian antipirektik
    • R/ Merangsang pusat pengatur panas di otak
    Diagnosa 4.:
    Resiko gangguan integritas kulit perianal berhubungan dengan peningkatan frekwensi BAB (diare)

    Tujuan :
    Setelah dilakukan tindaka keperawtan selama di rumah sakit integritas kulit tidak terganggu.

    Kriteria hasil :
    • Tidak terjadi iritasi : kemerahan, lecet, kebersihan terjaga
    • Keluarga mampu mendemontrasikan perawatan perianal dengan baik dan benar
    Intervensi
    • Diskusikan dan jelaskan pentingnya menjaga tempat tidur
    • R/ Kebersihan mencegah perkembang biakan kuman
    • Demontrasikan serta libatkan keluarga dalam merawat perianal (bila basah dan mengganti pakaian bawah serta alasnya)
    • R/ Mencegah terjadinya iritassi kulit yang tak diharapkan oleh karena kelebaban dan keasaman feces
    • Atur posisi tidur atau duduk dengan selang waktu 2-3 jam
    • R/ Melancarkan vaskulerisasi, mengurangi penekanan yang lama sehingga tak terjadi iskemi dan iritasi .
    Diagnosa 5.:
    Kecemasan anak berhubungan dengan tindakan invasive

    Tujuan :
    Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam, klien mampu beradaptasi

    Kriteria hasil :
    • Mau menerima tindakan perawatan, klien tampak tenang dan tidak rewel
    Intervensi :
    • Libatkan keluarga dalam melakukan tindakan perawatan
    • R/ Pendekatan awal pada anak melalui ibu atau keluarga
    • Hindari persepsi yang salah pada perawat dan RS
    • R/ mengurangi rasa takut anak terhadap perawat dan lingkungan RS
    • Berikan pujian jika klien mau diberikan tindakan perawatan dan pengobatan
    • R/ menambah rasa percaya diri anak akan keberanian dan kemampuannya
    • Lakukan kontak sesering mungkin dan lakukan komunikasi baik verbal maupun non verbal (sentuhan, belaian dll)
    • R/ Kasih saying serta pengenalan diri perawat akan menunbuhkan rasa aman pada klien.
    • Berikan mainan sebagai rangsang sensori anak

    DAFTAR PUSTAKA

    Bates. B, 1995. Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan. Ed 2. EGC. Jakarta
    Carpenitto.LJ. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis. Ed 6. EGC. Jakarta.
    Lab/ UPF IKA, 1994. Pedoman Diagnosa dan Terapi . RSUD Dr. Soetomo. Surabaya.
    Markum.AH. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
    Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak sakit. EGC. Jakarta
    Soetjiningsih, 1995. Tumbuh Kembang Anak. EGC. Jakarta
    Suryanah,2000. Keperawatan Anak. EGC. Jakarta
    Doengoes,2000. Asuhan Keperawatan Maternal/ Bayi. EGC. Jakarta




    Download Askep Anak Diare Gratis :


    read more...

    Sabtu, 10 Januari 2009

    ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TETANUS NEONATORUM

    Kumpulan Asuhan Keperawatan
    Kumpulan Askep
    Asuhan Keperawatan
    Askep

    Oleh : Yuli Dwi Hartanto

    Tetanus Neonatorum

    A. PENGERTIAN
    Tetanus berasal dari kata tetanos (Yunani) yang berarti peregangan.
    Tetanus Neonatorum :
    Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul dengan kejang�kejang (WHO, 1989).
    Kejang yang sering di jumpai pada BBL, yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih Ngastijah, 1997).

    B. ETIOLOGI
    Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kuman tersebut terdapat ditanah, saluran pencernaan manusia dan hewan. Kuman clostridium tetani membuat spora yang tahan lama dan menghasilkan 2 toksin utama yaitu tetanospasmin dan tetanolysin.

    C. PATOFISIOLOGI
    Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sungsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan menimbulkan kekakuan.

    Efek Toxin pada :
    1. Ganglion pra sumsum tulang belakang :
      Memblok sinaps jalur antagonist, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus ototnya meningkat dan otot menjadi kaku. Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi membran dari neurons yang merupakan mekanisme yang umum terjadi bila jalur penghambat terangsang. Depolarisasi yang berkaitan dengan jalur rangsangan tidak terganggu. Toksin menyebabkan hambatan pengeluaran inhibitory transmitter dan menekan pengaruh bahan ini pada membran neuron motorik.
    2. Otak :
      Toxin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga menyebabkan gejala kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus. Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal menurun.
    3. Saraf otonom :
      Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hiperthermia, hypotensi, hypertensi, arytmia cardiac block atau takhikardia. Sekalipun otot yang terkena adalah otot bergaris terutama otot penampang dan penggerak tubuh yang besar-besar, pada tetanus berat otot polos juga ikut terkena, sehingga timbul manifestasi klinik seperti disebutkan diatas.

    D. MANIFESTASI
    Gejala klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang primitifpun mampu mengenalinya sebagai �penyakit hari kedelapan� (Jaffari, Pandit dan Ismail 1966). Anak yang semula menangis, menetek dan hidup normal, mulai hari ketiga menunjukan gejala klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan kesulitan menetek, risus sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku (Athvale, dan Pai, 1965, Marshall, 1968). Bentukan mulut menjadi mecucu (Jw) seperti mulut ikan karper. Bayi yang semula kembali lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi kejang-kejang menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas (Irwantono, Ismudijanto dan MF Kaspan 1987). Kekakuan pada tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak.
    Kekakuan dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi kaku, bengkok (flexi) pada siku dengan tangan dikepal keras keras. Hipertoni menjadi semakin tinggi, sehingga bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu. Leher yang kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi menengadah.

    Gambaran Umum pada Tetanus
    1. Trismus (lock-jaw, clench teeth)
      Adalah mengatupnya rahang dan terkuncinya dua baris gigi akibat kekakuan otot mengunyah (masseter) sehingga penderita sukar membuka mulut. Untuk menilai kemajuan dan kesembuhan secara klinik, lebar bukaan mulut diukur tiap hari. Trismus pada neonati tidak sejelas pada anak, karena kekakuan pada leher lebih kuat dan akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut agak menganga. Keadaan ini menyebabkan mulut �mecucu� seperti mulut ikan tetapi terdapat kekakuan mulut sehingga bayi tak dapat menetek.
    2. Risus Sardonicus (Sardonic grin)
      Terjadi akibat kekakuan otot-otot mimic dahi mengkerut mata agak tertutup
      sudut mulut keluar dan kebawah manggambarkan wajah penuh ejekan sambil menahan kesakitan atau emosi yang dalam.
    3. Opisthotonus
      Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot punggung, otot leher, trunk muscle dan sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali dengan mudahnya tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut.
      Pada era sebelum diazepam, sering terjadi komplikasi compression fracture pada tulang vertebra.
    4. Otot dinding perut kaku, sehingga dinding perut seperti papan. Selain otot didnding perut, otot penyangga rongga dada juga kaku, sehingga penderita merasakan keterbatasan untuk bernafas atau batuk. Setelah hari kelima perlu diwaspadai timbulnya perdarahan paru (pada neonatus) atau bronchopneumonia.
    5. Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya, lambat laun �masa istirahat� kejang makin pendek sehingga anak jatuh dalam status convulsivus.
    6. Pada tetanus yang berat akan terjadi :
      Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus-menerus atau oleh karena spasme otot larynx yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.
      Pengaruh toksin pada saraf otonom akan menyebabkan gangguan sirkulasi (akibat gangguan irama jantung misalnya block, bradycardi, tachycardia, atau kelainan pembuluh darah/hipertensi), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) atau berkeringat banyak hiperhidrosis).
      Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan retentio alvi atau retention urinae.
      Patah tulang panjang (tulang paha) dan fraktur kompresi tulang belakang.

    E. DIAGNOSIS, DIAGNOSA BANDING DAN KOMPLIKASI
    1. Diagnosa
      Pemeriksaan laboratorium : Liquor Cerebri normal, hitung leukosit normal atau sedikit meningkat. Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan magnesium, analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk dilakukan.
      Pemeriksaan radiologi : Foto rontgen thorax setelah hari ke-5.
    2. Diagnosa Banding
      Meningitis
      Meningoenchepalitis
      Enchepalitis
      Tetani karena hipocalsemia atau hipomagnesemia
      Trismus karena process lokal
    3. Komplikasi
      Bronkhopneumonia
      Asfiksia
      Sepsis Neonatorum

    F. FAKTOR RESIKO DAN PENCEGAHAN
    1. Faktor resiko
      Tetanus neonatorum terjadi pada masa perinatal, antara umur 0 sampai 28 hari, terutama pada saat luka puntung tali pusat belum kering, sehingga spora C. tetani dapat mencemari dan berbiak menjadi kuman vegetatif.
      Menurut Foster, (1983) serta Sub Dinas PPM Propinsi Jawa Timur, (1989) terdapat 5 faktor resiko pokok tetanus neonatorum yaitu : (a) faktor resiko pencemaran lingkungan fisik dan biologik, (b) faktor cara pemotongan tali pusat, (c) faktor cara perawatan tali pusat, (d) faktor kebersihan pelayanan persalinan dan (e) faktor kekebalan ibu hamil.
      • Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
        Merupakan faktor yang menentukan kepadatan kuman dan tingginya tingkat pencemaran spora di lingkungannya. Risiko akan hilang bila lahan pertanian dan peternakan diubah penggunaannya.
      • Faktor Cara Pemotongan Tali Pusat
        Penggunaan sembilu, pisau cukur atau silet untuk memotong tali pusat tergantung pada pengertian masyarakat akan sterilitas. Setelah dipotong, tali pusat dapat disimpul erat-erat atau diikat dengan benang. Penolong persalinan biasanya lebih memusatkan perhatian pada �kelahiran� plasenta dan perdarahan ibu.
      • Faktor Cara Perawatan Tali Pusat
        Tata cara perawatan perinatal sangat berkaitan erat dengan hasil interaksi antara tingkat pengetahuan, budaya, ekonomi masyarakat dan adanya pelayanan kesehatan di lingkungan sekitarnya. Masyarakat di banyak daerah masih menggunakan daun-daun, ramuan, serbuk abu dan kopi untuk pengobatan luika puntung tali pusat. Kebiasaan ini tidak dapat dihilangkan hanya dengan pendidikan dukun bayi saja.
      • Faktor Kebersihan Pelayanan Persalinan
        Merupakan interaksi antara kondisi setempat dengan tersedianya pelayanan kesehatan yang baik di daerah tersebut yang menentukan subyek penolong persalinan dan kebersihan persalinan. Untuk daerah terpencil yang belum terjangkau oleh pelayanan persalinan yang higienis maupun daerah perkotaan yang biaya persalinannya tak terjangkau oleh masarakat, peranan dukun bayi (terlatih atau tidak) maupun penolong lain sangatlah besar. Pelatihan dukun bayi dapat menurunkan kematian perinatal namun tidak berpengaruh pada kejadian tetanus neonatorum.
        Masih banyak ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya (25 sampai 60%) dan lebih banyak lagi yang persalinannya tidak ditolong oleh tenaga medis (70%) sehingga resiko tetanus neonatorum bagi bayi lahir di Indonesia besar.
      • Faktor Kekebalan Ibu Hamil
        Merupakan faktor yang sangat penting. Antibodi antitetanus dalam darah ibu hamil yang dapat disalurkan pada bayinya dapat mencegah manifestasi klinik infeksi dengan kuman C. tetani (Suri, dkk,1964). Suntikan tetanus toksoid 1 kalipun dapat mengurangi kematian tetanus neonatorum dari 70-78 per 1000 kelahiran hidup menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup (Newell, 1966, Black, 1980, Rahman, 1982).

    2. Pencegahan
      Tindakan pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada tindakan menurunkan atau menghilangkan factor-faktor resiko. Meskipun banyak faktor resiko yang telah dikenali dan diketahui cara kerjanya, namun tidak semua dapat dihilangkan, misalnya lingkungan fisik dan biologik. Menekan kejadian tetanus neonatorum dengan mengubah lingkungan fisik dan biologik tidaklah mudah karena manusia memerlukan daerah pertanian dan peternakan untuk produksi pangan mereka.
      Pendekatan pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan mengupayakan kebersihan lingkungan yang maksimal agar tidak terjadi pencemaran spora pada proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali pusat. Mengingat sebagian besar persalinan masih ditolong oleh dukun, maka praktek 3 bersih, yaitu bersih tangan, alat pemotong tali pusat dan alas tempat tidur ibu (Dep. Kesehatan, 1992), serta perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam kurikulum pendidikan dukun bayi. Bilamana attack rate tak dapat diturunkan dan penurunan faktor risiko persalinan serta perawatan tali pusat memerlukan waktu yang lama, maka imunisasi ibu hamil merupakan salah satu jalan pintas yang memungkinkan untuk ditempuh.
      Pemberian tokoid tetanus kepada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester ketiga dikatakan sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum. Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril dan perawatan tali pusat selanjutnya.

    G. TATA LAKSANA
    • Medik
      Empat pokok dasar tata laksana medik : debridement, pemberian antibiotik, menghentikan kejang, serta imunisasi pasif dan aktif, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
      1. Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis dalam perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dalam perbandingan 4 : 1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum peroral/sonde, melalui infus diberikan tambahan protein dan kalium.
      2. Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke dalam cairan infus dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tembahan diazepam 5 mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan peroral dan diurunkan secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam diberikan per oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan secara intravena.
      3. ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus diberikan 20.000 U sekaligus.
      4. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari. Bila pasien menjadi sepsis pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis bakterialis.
      5. Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alcohol 70%/Betadine 10%.
      6. Perhatikan jalan napas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.

    • Keperawatan
      Perawatan intensif terutama ditujukan untuk mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga saluran nafas tetap bebas, mempertahankan oksignasi yang adekuat, dan mencegah hipotermi. Perawatan puntung tali pusat sangat penting untuk membuang jaringan yang telah tercemar spora dan mengubah keadaan anaerob jaringan yang rusak, agar oksigenasi bertambah dan pertumbuhan bentuk vegetatif maupun spora dapat dihambat. setelah puntung tali pusat dibersihkan dengan perhydrol, dibutuhkan povidon 10% dan dirawat secara terbuka. Perawatan puntung tali pusat dilakukan minimal 3 kali sehari.
    1. Pengkajian
      1. Identitas
      2. Riwayat Keperawatan : antenatal, intranatal, postnatal.
      3. Pemeriksaan Fisik
        • Keadaan Umum : Lemah, sulit menelan, kejang
        • Kepala : Poisi menengadah, kaku kuduk, dahi mengkerut, mata agak tertutup, sudut mulut keluar dan kebawah.
        • Mulut : Kekakuan mulut, mengatupnya rahang, seperti mulut ikan.
        • Dada : Simetris, kekakuan otot penyangga rongga dada, otot punggung.
        • Abdomen : Dinding perut seperti papan.
        • Kulit : Turgor kurang, pucat, kebiruan.
        • Ekstremitas : Flexi pada tangan, ekstensi pada tungkai, hipertoni sehingga bayi dapat diangkat bagai sepotong kayu.
      4. Pemeriksaan Persistem
        • Respirasi : Frekuensi nafas, penggunaan otot aksesori, bunyi nafas, batuk-pikel.
        • Kardiovaskuler : Frekuensi, kualitas dan irama denyut jantung, pengisian kapiler, sirkulasi, berkeringat, hiperpirexia.
        • Neurologi : Tingkat kesadaran, reflek pupil, kejang karena rangsangan.
        • Gastrointestinal : Bising usus, pola defekasi, distensi
        • Perkemihan : Produksi urine
        • Muskuloskeletal : Tonus otot, pergerakan, kekakuan.

    2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul

      1. Ketidakefektifan pola nafas b.d kelelahan otot-otot respirasi
      2. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d refleks menghisap pada bayi tidak adekuat.

    3. Intervensi
      Ketidakefektifan pola nafas b.d kelelahan otot-otot respirasi
      Intervensi :
      • Kaji frekuensi dan pola nafas
      • Perhatikan adanya apnea dan perubahan frekuensi jantung, tonus otot dan warna kulit.
      • Lakukan pemantauan jantung dan pernafasam secara kontinue.
      • Hisap jalan nafas sesuai kebutuhan.
      • Beri rangsang taktil segera setelah apnea.
      • Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.
      • Beri O2 sesuai indikasi.
      • Beri obat-obatan sesuai indikasi.

      Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d refleks menghisap pada bayi tidak adekuat.
      Intervensi :
      • Kaji maturitas refleks berkenaan dengan pemberian makan, menghisap, menelan dan batuk.
      • Auskultasi bising usus.
      • Kaji tanda-tanda hipoglikemia.
      • Beri suplemen elektrolit sesuai medikasi.
      • Beri nutrisi parenteral.
      • Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.
      • Lakukan pemberian minum sesuai toleransi.

    Download Askep Tetanus Neonatorum Gratis :

    read more...

    Jumat, 09 Januari 2009

    ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN HALUSINASI

    HALUSINASI



    A. Pengertian



    Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) pasca indera tanpa adanyarangsangan dari luar yang dapat meliputi semua system penginderaan di mana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik.




    Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi. Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung, tapi yang paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak sempurna. Biasanya kalimat tadi membicarakan mengenai keadaan pasien sedih atau yang dialamatkan pada pasien itu. Akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan suara halusinasi itu. Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap dalam mendengar atau bicara keras-keras seperti bila ia menjawab pertanyaan seseorang atau bibirnya bergerak-gerak. Kadang-kadang pasien menganggap halusinasi datang dari setiap tubuh atau diluar tubuhnya. Halusinasi ini kadang-kadang menyenangkan misalnya bersifat tiduran, ancaman dan lain-lain.



    Menurut May Durant Thomas (1991) halusinasi secara umum dapat ditemukan pada pasien gangguan jiwa seperti: Skizoprenia, Depresi, Delirium dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lingkungan. Berdasarkan hasil pengkajian pada pasien dirumah sakit jiwa ditemukan 85% pasien dengan kasus halusinasi. Sehingga penulis merasa tertarik untuk menulis kasus tersebut dengan pemberian Asuhan keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi.




    B. Klasifikasi



    Klasifikasi halusinasi sebagai berikut :


    1. Halusinasi dengar (akustik, auditorik), pasien itu mendengar suara yang membicarakan, mengejek, menertawakan, atau mengancam padahal tidak ada suara di sekitarnya.

    2. Halusinasi lihat (visual), pasien itu melihat pemandangan orang, binatang atau sesuatu yang tidak ada.

    3. Halusinasi bau / hirup (olfaktori). Halusinasi ini jarang di dapatkan. Pasien yang mengalami mengatakan mencium bau-bauan seperti bau bunga, bau kemenyan, bau mayat, yang tidak ada sumbernya.

    4. Halusinasi kecap (gustatorik). Biasanya terjadi bersamaan dengan halusinasi bau / hirup. Pasien itu merasa (mengecap) suatu rasa di mulutnya.

    5. Halusinasi singgungan (taktil, kinaestatik). Individu yang bersangkutan merasa ada seseorang yang meraba atau memukul. Bila rabaab ini merupakan rangsangan seksual halusinasi ini disebut halusinasi heptik.


    C. Etiologi



    Menurut Mary Durant Thomas (1991), Halusinasi dapat terjadi pada klien dengan gangguan jiwa seperti skizoprenia, depresi atau keadaan delirium, demensia dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lainnya. Halusinasi adapat juga terjadi dengan epilepsi, kondisi infeksi sistemik dengan gangguan metabolik. Halusinasi juga dapat dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan yang meliputi anti depresi, anti kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik, sedangkan obat-obatan halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi sama seperti pemberian obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi, perubahan sensorik seperti kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya permasalahan pada pembicaraan. Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun banyak faktor yang mempengaruhinya seperti faktor biologis , psikologis , sosial budaya,dan stressor pencetusnya adalah stress lingkungan , biologis , pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme koping.






    D. Psikopatologi



    Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik dan lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang dari dalam tubuh ataupun dari luar tubuh. Input ini akan menginhibisi persepsi yang lebih dari munculnya ke alam sadar.Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada keadaan normal atau patologis, maka materi-materi yang ada dalam unconsicisus atau preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi.


    Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanya keinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena sudah retaknya kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksterna.





    E. Tanda dan Gejala



    Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering di dapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau bicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang di alaminya (apa yang di lihat, di dengar atau di rasakan).






    F. Penatalaksanaan




    Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :


    1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik

      Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi knntak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan.

      Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.

    2. Melaksanakan program terapi dokter

      Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.

    3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada

      Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.

    4. Memberi aktivitas pada pasien

      Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.

    5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan

      Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalny dari percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.
    Sumber : http://kumpulan-asuhan-keperawatan.blogspot.com/2009/01/asuhan-keperawatan-pada-pasien-dengan_09.html

    Download Askep halusinasi di sini dan di sini





    Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Halusinasi



    A. Pengkajian

    Pada tahap ini perawat menggali faktor-faktor yang ada dibawah ini yaitu :

    1. Faktor predisposisi.

      Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari pasien maupun keluarganya, mengenai factor perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu factor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.

      • Faktor Perkembangan

        Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.

      • Faktor Sosiokultural

        Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien di besarkan.

        Faktor Biokimia

        Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP).

      • Faktor Psikologis

        Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas.

      • Faktor genetik

        Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

    2. Faktor Presipitasi

      Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman / tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi / isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
    3. Perilaku

      Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai mahkluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari dimensi yaitu :

      • Dimensi Fisik

        Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.

      • Dimensi Emosional

        Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

      • Dimensi Intelektual

        Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.

      • Dimensi Sosial

        Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.

      • Dimensi Spiritual

        Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya.

    4. Sumber Koping

      Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.

    5. Mekanisme Koping

      Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
    B. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul

    1. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi.

    2. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri

    3. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
    C. Intervensi

    Diagnoasa 1.:

    Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi

    Tujuan : Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.

    Kriteria Hasil :

    1. Pasien dapat mengungkapkan perasaannya dalam keadaan saat ini secara verbal.

    2. Pasien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan saat halusinasi, cara memutuskan halusinasi dan melaksanakan cara yang efektif bagi pasien untuk digunakan

    3. Pasien dapat menggunakan keluarga pasien untuk mengontrol halusinasi dengan cara sering berinteraksi dengan keluarga.
    Intervensi :

    • Bina Hubungan saling percaya

    • Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.

    • Dengarkan ungkapan klien dengan empati

    • Adakan kontak secara singkat tetapi sering secara bertahap (waktu disesuaikan dengan kondisi klien).

    • Observasi tingkah laku : verbal dan non verbal yang berhubungan dengan halusinasi.

    • Jelaskan pada klien tanda-tanda halusinasi dengan menggambarkan tingkah laku halusinasi.

    • Identifikasi bersama klien situasi yang menimbulkan dan tidak menimbulkan halusinasi, isi, waktu, frekuensi.

    • Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya saat alami halusinasi.

    • Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan bila sedang mengalami halusinasi.

    • Diskusikan cara-cara memutuskan halusinasi

    • Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan cara memutuskan halusinasi yang sesuai dengan klien.

    • Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok

    • Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga ketika mengalami halusinasi.

    • Diskusikan dengan klien tentang manfaat obat untuk mengontrol halusinasi.

    • Bantu klien menggunakan obat secara benar.
    Diagnosa 2.:

    Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri

    Tujuan : Klien mampu mengontrol halusinasinya

    Kriteria Hasil :

    1. Pasien dapat dan mau berjabat tangan.

    2. Pasien mau menyebutkan nama, mau memanggil nama perawat dan mau duduk bersama.

    3. Pasien dapat menyebutkan penyebab klien menarik diri.

    4. Pasien mau berhubungan dengan orang lain.

    5. Setelah dilakukan kunjungan rumah klien dapat berhubungan secara bertahap dengan keluarga
    Intervensi :

    • Bina hubungan saling percaya.

    • Buat kontrak dengan klien.

    • Lakukan perkenalan.

    • Panggil nama kesukaan.

    • Ajak pasien bercakap-cakap dengan ramah.

    • Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya

      serta beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaan penyebab pasien tidak mau bergaul/menarik diri.

    • Jelaskan pada klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta yang mungkin jadi penyebab.

    • Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan.

    • Diskusikan tentang keuntungan dari berhubungan.

    • Perlahan-lahan serta pasien dalam kegiatan ruangan dengan melalui tahap-tahap yang ditentukan.

    • Beri pujian atas keberhasilan yang telah dicapai.

    • Anjurkan pasien mengevaluasi secara mandiri manfaat dari berhubungan.

    • Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan pasien mengisi waktunya.

    • Motivasi pasien dalam mengikuti aktivitas ruangan.

    • Beri pujian atas keikutsertaan dalam kegiatan ruangan.

    • Lakukan kungjungan rumah, bina hubungan saling percaya dengan keluarga.

    • Diskusikan dengan keluarga tentang perilaku menarik diri, penyebab dan car a keluarga menghadapi.

    • Dorong anggota keluarga untuk berkomunikasi.

    • Anjurkan anggota keluarga pasien secara rutin menengok pasien minimal sekali seminggu.
    Diagnosa 3.:

    Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah

    Tujuan : Pasien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap.

    Kriteria Hasil :

    1. Pasien dapat menyebutkan koping yang dapat digunakan

    2. Pasien dapat menyebutkan efektifitas koping yang dipergunakan

    3. Pasien mampu memulai mengevaluasi diri

    4. pasien mampu membuat perencanaan yang realistik sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya

    5. Pasien bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencanan

      Intervensi :

      • Dorong pasien untuk menyebutkan aspek positip yang ada pada dirinya dari segi fisik.

      • Diskusikan dengan pasien tentang harapan-harapannya.

      • Diskusikan dengan pasien keterampilannya yang menonjol selama di rumah dan di rumah sakit.

      • Berikan pujian.

      • Identifikasi masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pasien

      • Diskusikan koping yang biasa digunakan oleh pasien.

      • Diskusikan strategi koping yang efektif bagi pasien.

      • Bersama pasien identifikasi stressor dan bagaimana penialian pasien terhadap stressor.

      • Jelaskan bahwa keyakinan pasien terhadap stressor mempengaruhi pikiran dan perilakunya.

      • Bersama pasien identifikasi keyakinan ilustrasikan tujuan yang tidak realistic.

      • Bersama pasien identifikasi kekuatan dan sumber koping yang dimiliki

      • Tunjukkan konsep sukses dan gagal dengan persepsi yang cocok.

      • Diskusikan koping adaptif dan maladaptif.

      • Diskusikan kerugian dan akibat respon koping yang maladaptive.

      • Bantu pasien untuk mengerti bahwa hanya pasien yang dapat merubah dirinya bukan orang lain

      • Dorong pasien untuk merumuskan perencanaan/tujuannya sendiri (bukan perawat).

      • Diskusikan konsekuensi dan realitas dari perencanaan / tujuannya.

      • Bantu pasien untuk menetpkan secara jelas perubahan yang diharapkan.

      • Dorong pasien untuk memulai pengalaman baru untuk berkembang sesuai potensi yang ada pada dirinya.




    DAFTAR PUSTAKA

    Directorat Kesehatan Jiwa, Dit. Jen Yan. Kes. Dep. Kes R.I. Keperawatan Jiwa. Teori dan Tindakan Keperawatan Jiwa, , 2000

    Keliat Budi, Anna, Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa, EGC, 1995

    Keliat Budi Anna, dkk, Proses Keperawatan Jiwa, EGC, 1987

    Maramis, W.F, Ilmu Kedokteran Jiwa, Erlangga Universitas Press, 1990

    Rasmun, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi dengan Keluarga, CV.

    Sagung Seto, , 2001.

    Residen Bagian Psikiatri UCLA, Buku Saku Psikiatri, EGC, 1997

    Stuart & Sunden, Pocket Guide to Psychiatric Nursing, EGC, 1998
    read more...